Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati; Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (7)

SAMIN-NEWS.COM PEMBUMIAN sebuah peringatan hari bersejarah yang dikemas dalam peringatan Hari Jadi Pati, memang harus dilakukan dengan totalitas keterlibatan seluruh warga yang merasa Pati sebgai tumpah darahnya maupun Pati yang hanya sekadar tempat pijakannya. Akan tetapi hal tersebut dalam peringatan Ke-696 Hari Jadi Pati Tahun 2019, jelas tidak mungkin bisa diwujudkan.

Sebab, Pemerntah Kabupaten (Pemkab) Pati melalui panitia yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan perngatan tersebut sudah fokus pada Kirab Prosesi perpindahan (boyongan) dari Kemiri ke Kaborongan. Karena  prosesi tersebut menelan biaya cukup besar, maka sesuai ketentuan pelaksanaannya harus ditenderkan, sehingga jika seluruh warga Pati cinta dan bersyukur pada daerah daerahnya, maka harus mempunyai keberanian dan kerelaan untuk bisa ikut ambil bagian secara swadaya.

Apalagi, ada gagasan cukup menarik yang dilontarkan salah seorang anggota Komisi D DPRD Pati, satu di antaranya adalah Endah Sri Wahyuningati. Yakni, sebuah refleksi peradaban masa lalu hubungan antara junjungan dan kawulannya dalam bentuk ”sowan ngabianta,” tapi hal itu tidak mungkin diselengagarakan oleh masyarakat karena harus melibatkan langsung Bupati.

Padahal Bupati sudah barang tentu menjadi bagian agenda resmi ”kirab prosesi,” sehingga yang masih memungkinkan diselenggarakan oleh masyarakat adalah merefleksi peradaban masa lalu, ketika kehidupan sehari-hari warga belum mengenal, apa itu energi listrik. Dengan demikian, bentuk darei reflesi tersebut adalah penyalaan ”damar sewu,” karena hal itu bisa diaktualisasikan dengan kondisi sekerang tentang hemat energi listrik.

Hanya permasalahannya kembali ke pertanyaan klasik, adakah masyarakat atau pihak-pihak yang bersedia menjadi penyelenggaranya. Kendati mereka merasa mempunyai tanah tumpah darah di bumi Pati, atau selama ini mempunyai pijakan di bumi Pati, tapi untuk melakukan hal-hal yang bagi mereka dianggap tidak penting maka kembalinya pada pertanyaan mereka, ”Keuntungan apa yang saya dapatkan dari hal-hal seperi itu?”

Selebihnya pasti komentar-komentar bernada sumbang, ”Mngapa ‘legan cari momongan’, toh  pemerintah sudah menyelenggarakan peringatan hari jadi besar-besaran.” Atau kalau bahasa ”medhok” orang-orang Pati di Jakarta, adalah ”Apa leh untunge, emang gue pikirin?”

Terlepas warga Pati yang bersikap seperti itu, penulis pun berandai-andai, semisal untuk membumikan peringatan Hari Jadi Pai ini juga melibatan ribuan anak-anak mulai dari peserta pendidikan usia dini (Paud), TK, SD, SMP sampai SMA untuk sekadar bergembira ria dalam peringatan hari jadi daerah tempat tinggalnya, tentu akan sangat luar biasa. Sebab, peristiwa itu pasti akan tercatat pada ingatan mereka masing-masing, bahwa mereka pernah ikut merayakan hari jadi daerahnya.

Syaratnya, pihak yang berkompeten di bidang pendidikan dan kebudayaan juga harus mau ”ciucul” untuk pembiayaannya, mulai penyediaan panggung dan pengeras suara. ”Sebab, untuk menambilkan kegembiaraan dan kreasi anak-anak ini tidak cukup hanya dengan waktu satu hari, tapi paling tidak satu minggu. Mengapa tidak?(bersambung)

Previous post Kebaya Harus Wajib Bagi Wanita Indonesia Dalam Menjaga Warisan Leluhur.
Next post Menunggu Kepatuhan Sopir Truk Tidak Masuk Kota

Tinggalkan Balasan

Social profiles