Klenteng Hok Tik Bio Gelar Pertunjukan Wayag Kulit Semalam Suntuk

Poster dalang Ki Bowo Asmoro dari Pati yang Sabtu (21/9)  akan tampil kali perama di Klenteng Hok Tik Bio, di Kompleks Pecinan Pati.(Foto:SN/dok-eddy)

 SAMIN-NEWS.COM  PATI – Jangan terobsesi atau bermimpi bahwa wayang yang biasanya atau lazim ditampilkan dalam pertunjukan di klenteng-klenteng adalah wayang jenis ”pothehi.” Dalam kesejaharan kebudayaan di era Tahun 1970-an hingga 1980-an jenis wayang peninggalan budaya leluhur para suku bangsa peranakan Tionghoa, dalang dan wayang tersebut pemiliknya hanya tinggal sebuah klenteng di Gang Lombok Semarang.
Akan tetapi dalam rentang perjalanan perabadaban suku peranakan yang cukup panjang di tengah hingar bingarnya kehidupan di republik ini, akhirnya seni pertunjukan wayang ini pun akhirnya lekang oleh waktu dan zaman. Faktor penyebab, jelas suku peranakan ini sama sekali tidak ada yang tertarik untuk mempertahankan budaya leluhurnya.
Sebab, proses untuk itu bukan hal mudah sementara kondisi masyarakat sudah banyak yang tidak terarik untuk melihat gelaran tontonan tersebut sehingga pertunjukan wayang itu jika ada hanyalah untuk kepentingan hal-hal yang berkait dengan ritual. Apalagi untuk menggelar wayang ”pothehi”  Waktunya tidak bisa sesingkat menggelar pertunjukan seni wayang kulit, cukup semalam suntuk.
Hal tersebut tak bisa dihindari, karena ceritanya pun berseri-seri yang berlatarbelakang pada peradaban Tiongkok sebelum masehi (SM).Yakni, ”She Jhin Khui.” yang dalam ranah kesusatraan telah disadur sebagai cerita bebas dengan latar belakang peristiwa di bumi republik tercinta ini, di antaranya, ”Geger Tanjunganom,” ”Sudira Prana” sampai ”Alap-alapan Waryanti”, dan yang banyak memanfaatkan cerita tersebut, adalah seni pertunjukan ketoprak.
Belajar dari kondisi kesejarahan budaya leluhur suku peranakan Tionghoa di Indonesia, Eddy Siswanto yang Ketua Umum Klenteng se-Kabupaten Pati, tak menginginkan hal tersebut terulang pada kesenian dan kebudayaan di republik ini. Karena itu upaya pelestariannya tidak hanya sekadar diteorikan, tapi benar-benar secara konsisten dilakukan.
Klenteng Hok Tik Bio, katanya, sampai sekarang statusnya masih punya grup ketoprak. Hanya saja ketoprak tersebut tidak bisa dikonsumsi untruk umum kecuali dalam rangkaian ritual seperti saat perayaan Imlek, sebagaimana pernah digelar di Alun-alun Simpanglima dengan cerita serial ”She Jhin Khui, dan juga pernah digelar pula di kompleks Pecinan dengan cerita Laksmana Cheng Ho.”   
Karena itu obsesinya yang sampai sekarang beum bisa diwujudkan, bagaimana klenteng ini memiliki seperangkat gamelan. Sebab, jika menilik sejarahnya bangsa yang bisa menguasai logam/metal kemudian dibentuknya menjadi alat musik, berarti peradaban bangsa tersebut benar-benar cukup tinggi, dan jelas itu hanya dimiliki bangsa Indonesia, meskipun bangsa lain menguasai logam untuk kepentingan teknologi, di antaranya adalah pesawat terbang.
Kembali ke pertunjukan wayang kult, hal itu sudah sering digelar  di beberapa klenteng, termasuk Klenteng Hok Tik Bio, dan semua itu dalam rangkaian ritual budaya leluhur. ”Siakan masyarakat pecinta seni pertunjukan wayang kulit untuk datang ke halaman klenteng, karena dalang Ki Bowo Asmoro akan membesut cerita ”Wahyu Tirta Manikmaya Mahadi,”imbuh Eddy Siswanto.(sn)
Previous post E-MAJALAH EDISI IV (Lingkungan di Balik Kepentingan)
Next post Akses Jalan ke Kolam Tambat Kapal Dilanjutkan

Tinggalkan Balasan

Social profiles