DITENGAH pandemi covid-19 muncul bebagai fenomena di permukaan. Mulai fenomena remah temah, hingga fenomena besar yang mampu mengguncang pemikiran masyarakt. Di laman twitter, saat ini sedang trending tagar #BebaskanSitiFadilah yang berisikan desakan dari warga net yang menginginkan pembebasan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) yang saat ini sedang mendekam di jeruji tahananan Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur setelah pada April 2012 ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan untuk kejadian luar biasa tahun 2005.
Bukan hanya dilaman twitter, desakan tersebut juga muncul dalam bentuk petisi di laman change.org yng sudah ditanda tangani oleh 37.366 warga net. Siti Fadilah dianggap pernah berhasil mengatasi wabah flu burung (H5N1) dan flu babi (H1N1), saat menjabat sebagai menteri. Warga net pun menilai jika Siti bebas, ia mampu memberi sumbangsih yang besar dalam penanganan covid-19.
Indonesia mulai berhadapan dengan kasus flu burung pada 2005. World Health Organization (WHO) sempat menjadikan Indonesia sebagai pusat wabah. Organisasi Kesehatan Dunia itu pun menyiapkan status pandemi flu burung, usai pada 2006 ada delapan orang pasien di Karo, Sumatera Utara dinyatakan sebagai kasus penularan dari manusia ke manusia. Akan tetapi, WHO mencabut penetapan pandemi berkat kerja Siti, dan seiring waktu wabah menghilang.
Dan yang lebih mencengangkan, Siti pernah menulis buku kontroversial berjudul ‘Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung’. Di dalam bukunya itu, Siti membahas segala kerja-kerjanya untuk mengatasi wabah flu burung, serta membongkar borok WHO dan Amerika Serikat.
Salah satu pengakuan Siti yang mencengangkan di dalam buku Saatnya Dunia Berubah adalah kecurigaannya terhadap virus flu burung yang dijadikan bahan untuk membuat senjata biologi. Ia menulis, negara berkembang yang terpapar flu burung harus memberikan virus gratis ke WHO, dan negara penyetor tak tahu apa yang akan dilakukan terhadap virus yang disetor itu. Siti mengkritik sangat tertutupnya data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO. Dari sana timbul kecurigaan.
Di dalam bukunya, Siti pun melawan WHO dengan tidak mengirimkan spesimen virus yang diminta, selama masih mengikuti standar Global Influenza Surveillance Network (GSIN). Siti menilai, pengiriman spesimen virus itu akan diproses para peneliti untuk penilaian risiko dan benih virus, sebagai bahan membuat vaksin.
Ia mengkritik monopoli produksi vaksin, yang virusnya sendiri diperoleh dari negara terpapar flu burung, yang belum tentu mampu membeli vaksin tersebut. Ironisnya, perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin flu burung berasal dari negara maju. Vaksin itu dijual ke seluruh dunia, tanpa sepengetahuan dan kompensasi negara pengirim virus.
Menurut Siti, tak adil jika negara terpapar flu burung justru harus membayar mahal untuk barang yang seharusnya bisa dimiliki negara itu. Ia pun melobi dan menggalang dukungan negara-negara berkembang agar berani menggugat WHO.
Yah, terlepas apapun bagaimana pun sepak terjang mantan Menkes satu ini. Kalau salah ya tetap salah, tapi setidaknya kita juga perlu berkaca dengan serangkaian perlawanan yang ia lakukan.