NAMANYA saja bantuan ”kebanyakan bicara” maka semisal diminta diam pasti tidak bisa karena bicara tersebut dinggap sudah mewakili kelompok kepentingannya, sehingga sampai kapan pun sebelum waktu penyaluran bantuan pemerintah belum berakhir hal tersebut juga tak akan berakhir. Sebab yang mereka bicarakan biar dianggap bicaranya tidak dianggap ”waton” tentu soal data, meskipun apa yang mereka bicarakan itu datanya comotan dari jalanan,
Sementara ini, penyaluran bantuan dari pemerintah di tengah merebaknya penyebaran pandemi virus Corona (Covid-19) sudah mulai berlangsung. Di antaranya, bantuan untuk keluarga prasejahtera yang disebut sebagai Bantuan Sosial Tunai (BST) masing-masing kelompok penerima manfaat (KPM) sebesar Rp 600.000 mulai bulan ini (Mei) s/d Juli mendatang, dan disalurkan melalui PT Pos Indonesia.
Data yang mereka bicarakan, bahwa dalam pemberian bantuan itu ternyata masih ada orang kaya yang rumahnya bukan rumah keluarga prasejahtera juga terdaftar sebagai penerima bantuan. Hal-hal seperti itu akan selalu muncul, dan buntutnya tak lain menghujat bahwa data dari pemerintah yang salah, karena memang kondisinya benar demikian.
Padahal validitas data itu sudah dilakukan berulang-ulang, tapi setelah berupa data yang siap diimplementasikan untuk para penerima bantuan tetap disebut sebagai data amburadul. Sebab, ada orang yang sudah meninggal atau pindah penduduk lima tahun lalu masih tertera sebagai KPM penerima bantuan, maka kelompok kepentingan yang merasa kepentingannya tidak terlayani itu membicarakan amburadulnya data ke sana ke mari.
Di sisi lain yang lebih dari itu dan bahkan sudah berubah mebjadi hujatan, adalah masuknya orang-orang mampu atau sebut sebagai orang kaya yang rumahnya tergolong mewah ternyata juga masuk dalam KPM. Karena itu, upaya untuk mengurai masalah tersebut saat ini validitas data kembali dilakukan di lapangan dengan memasang labelisasi di dinding rumah KPM yang bersangkutan.
Ternyata ada orang kaya yang merasa malu sadar dan memilih mengundurkan diri dari KPM, tapi ada di antara mereka yang pura-pura malu tapi masih mau menerima berbagai bantuan, baik PKH, BPNT, dan BST dengan mempersilakan dinding rumahnya ditempel label keluarga prasejahtera ”Miskin.” Anehnya, begitu rombongan labelisasi berlalu dari tempat itu maka diam-diam yang bersangkutan menghapus label tersebut.
Berikutnya apa lagi?