SAMIN-NEWS.com, PATI – Jika selama ini limbah tapioka atau dikenal sebagai lindur dan dipersoalkan karena mencemari lingkungan dan juga udara, karena bau busuknya cukup menyengat. Apalagi, di wilayah Kecamatan Margoyoso, Pati, yang selama ini terdapat sejumlah desa menjadi sentra produksi tapioka, seperti di Desa Ngemplak Kidul yang juga desa tetangga, Sidomukti limbah itu awalnya merupakan problem tersendiri.
Sebab, jumlah perajin atau produsen tapioka ini jumlahnya mencapai ratusan, belum ditambah lagi yang dari desa tetangga lainnya, seperti di Mojoagung, Kecamatan Trangkil. Akibatnya sejumkah alur kali di desa-desa tersebut hingga ke kawasan hilir, banyak yang menjadi tempat mengalirnya lindur tapioka yang bila mengalami permentasi bau busuknya menyengat benar-benar luar biasa.
Dari kondisi tersebut, maka awalnya ada seorang petani kreatif yang memanfaatkan lindur tapioka itu airnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air para petani, sehingga mereka sepanjang musim khususnya kemarau selalu bisa menanam padi. ”Hal itu tak ubahnya, para petani tanaman padi yang memanfaatkan limbah pabrik gula,”ujar salah seorang di antara mereka, Harnoto, asal Desa Sidomukti, Kecamatan Margoyoso.
Selain para petani di desanya, masih kata dia, masih ada petani di desa lain, di wilayah kecamatan yang sama, yatu Desa Pangkalan, Desa Pohijo dan Kertomulyo. Hal itu bisa dilakukan, karena di Sidomukti ada Bendung Pangkalan dengan dua aliran kali yang biasa menjadi tempat mengalirnya lindur tapioka, yaitu Kali Gesing / Winong dan Kali Mergolilo.
Lindur atau limbah tapioka dari kedua alur kali tersebut, kemudian mengalir masuk ke Bendung Pangkalan sehingga bisa diendapkan di bendung itu terlebih dahulu. Sehingga tidak bisa limbah yang baru dibuang dari pusatnya, yaitu di tempat para perajin sebelum mengalami permentasi airnya langsung dimanfaatkan untuk mengaliri areal persawahan .
Dengan demikian, Bendung Pangkalan di Desa Sidomukti ini adalah berfungsi sebagai aqualisasi air limbah tapioka sebelum dialirkan ke areal persawahan para petani. ”Berkait hal tersebut jelas, hanya lebih efektif berlangsung saat musim kemarau karena pada musim penghujan para petani tentu memanfaatkan air hujan,”imbuhnya.