PASCA serangkaian disrupsi pandemi corona yang sungguh amat melelahkan, kini banyak orang mulai mewacanakan kenormalan baru. Akan tetapi, bagaimana gambaran kenormalan baru sesungguhnya tak sepenuhnya terang.
Kata normal sendiri sebenarnya berasal dari kata dasar ‘norm’ yang berarti norma. Istilah normal sendiri biasa menggambarkan suatu bentuk kelaziman keteraturan. Tetapi yang menjadi masalah, kita sering kali terperangap oleh suatu bentuk normal yang keliru dan jauh dari kata benar.
Sebagai gambaran, kita sering membenarkan sesuatu yang lazim dari pada membenarkan apa yang sesungguhnya memang benar. Kita sering kali menghadapi beberapa kekeliruan seperti ungkapan ‘selama bisa pelayanan bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?’ atau ‘selama bisa membeli, kenapa kita harus produksi sendiri?’ bahkan ‘selama ada produk impor, mengapa harus produk dalam negeri?’.
Disrupsi korona mendekonstruksi kelaziman normalitas keliru seperti itu. Ternyata, semua diri terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, lebih luas, dan lebih tinggi. Di bawah wabah korona, semua diri tular-menular; semua bangsa papar-memapar; semua kekuatan tembus-menembus. Virus corona bisa menggerayangi segala agama dengan segala klaim kebenaran, semua ras tanpa diskriminasi, segala jabatan tanpa hak istimewa, segala adidaya tanpa hak veto.
Hari lahir Pancasila di masa pandemi kali ini setidaknya mampu membuat kita merefleksikan apa yang menjadi nilai luhur yang terkandung dalam tiap nafas pancasila. Memberi kesadaran penuh dalam menyongsong kenormalan baru dan menjadi pijakan dalam menyongsong penciptaan keteraturan yang benar ditengah kesemrawutan.