SAMIN-NEWS.com, PATI – Besok pagi, Kamis (25/6) sesuai kalender penanggalan China dalam Tahun Imlek adalah sama dengan tanggal 5 bulan ke-5 yang merupakan Hari Raya Kesetiaan. Saat perayaan hari raya ini oleh masyarakat suku Tionghoa, termasuk yang peranakan di Pati pernah menyelenggaran perayaan tradisional, yaitu Pehcun karena dimeriahkan dengan lomba perahu naga di alur Kali Juwana atau yang dikenal juga dengan Bengawan Silugonggo.
Akan tetapi sayangnya, perayaan tradisional ini di era Tahun 1970-an tiba-tiba menghilang dan tak pernah muncul lagi hingga sekarang, sehingga sudah puluhan tahun kiranya keramaian itu tidak lagi diselengarakan oleh peranakan Suku Tionghoa. Karena itu gurauan yang terasa mencubit rasa kesadaran adalah, bahwa saat masih berlangsung perayaah Pehcun air alur kali tersebut masih cukup bersih tapi sekarang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Sebab, alur kali itu sudah tidak lagi mencerminkan alur kali yang bersih sehingga masyarakat yang biasa hidup di pinggir kali bisa memanfaatkannya, minimal bisa untuk rekreasi dan juga berolahraga dayung. Dengan kata lain, kekumuhan alur kali itu juga menjadi penyebab Kali Juwana tidak layak lagi jika digunakan untuk menggelar perayaan tradisional seperti Pehcun yang pernah ada.
Terlepas dari kondsi alur Kali Juwana yang sekarang, salah seorang Suku Tionghoa Peranakan yang juga tokoh Gusdurian di Pati yang sejak kecil dibsarkan di Juwana, mencoba kembali mengingatkan kenangan perayaan tradisi yang identik dengan tersedianya makanan/kue bakcang. ”Lagi pula, saat berlangsung perayaan budaya peninggalan leluhur kami ini banyak berdatangan warga Tionghoa dan wisatawan lokal lainnya ke Juwana,”ujarya.
Karena itu, lanjutnya, wajar jika Juwana di masa lalu lebih dikenal ketimbang Pati sebagai kabupaten dan juga ibu kota eks-karesidenan. Memang pernah ada pihak yang ,menawarkan kerja sama untuk merintis kembali wisata air di Kali Juwana, termasuk yang menjadi andalannya adalah perayaan Pehcun dan juga Sedekah Laut, tapi pihaknya belum tertarik, dan misalnya ada yang benar-benar berminat tentu dipersilakan.
Tentang perayaan Pehcun yang merupakan budaya peninggalan leluhur tersebut, adalah tradisi perayaan atau nyadran dalam arti untuk menghargai dan menghormati, apa itu yang disebut kesetiaan. Jika diimplementasikan pada masa sekarang, kesetiaan tersebut tentu kesetiaan dalam berbangsa dan bernegara, termasuk kesetiaan terhadap pemimpin sah di republik ini.
Jika merunut sejarahnya atau cerita rakyat yang sudah terpatri di kalangan Suku Tionghoa peranakan adalah berasal dari sekitar Tahun 339 sebelum masehi (SM) s/d Tahun 277 SM, atau pada masa Kerajaan Chu dengan Menterinya, Qu Yuan yang selain sastrawan juga ahli strategi perang.yang benar-benar sangat setia pada kerajaan dan rajanya. Tapi oleh para koleganya, termasuk dari keluarga raja ada juga yang tidak menyukainya.
Apalagi ada di antara para kolega tersebut yang membujuk tabib istana itu, untuk menghentikan konsumsi garam Sang Raja yang tengah menderita sakit. Akan tetapi Sang Menteri yang cerdik itu membuat kemasan air garam yang dimasukkan ke dalam bambu berbentuk kerucut bagian ujungnya kemudian digantungkan di atas langit-langit, sehingga air garam itu tepat jatuh di mulut Sang Raja, ternyata upaya menteri itu diketahui sejumlah koleganya dan juga keluarga raja.
Akibatnya dia dituduh meracuni Sang Raja, tapi atas tuduhan yang tidak diadili tersebut justru Menteri Qu Yuan merasa sedih karena kasusnya tidak juga diproses secara hukum, sehingga kesedihannya pun berlarut-larut. ”Sampai akhirnya Menteri pun mengkhiri hidunya dengan cara mengikat seluruh tubuhnya, kemudian menceburkan ke sungai,”papar Eddy Siswanto, tapi utuk cerita selanjutya menunggu Kamis (25/6) besok pagi, termasuk mengapa ada telur yang bisa berdiri.