BAGI beberapa pihak, keputusan Presiden Jokowi untuk merestui anak dan menantu menjadi calon kepala daerah merupakan indikasi bahwa beliau sudah tertular virus nepotisme dan politik dinasti. Ia dinilai mengulangi kesalahan para elit politik yang mempertahankan kekuasaannya dengan melibatkan sanak famili dalam jabatan-jabatan strategis.
Seperti anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon Wali Kota Solo, tempat Jokowi mulai meniti karier politiknya. Gibran pun dinilai sangat berpotensi untuk memenangkan kontestasi tersebut. Sebab, semua partai kecuali Partai Keadilan Sejahtera, kompak mendukung dia. Tanpa pengaruh Jokowi, Gibran yang “masih newbie” dalam politik sulit mendapatkan dukungan sebanyak itu.
Memang, pada awalnya jalan Gibran tak semulus itu. Pengurus daerah PDI Perjuangan saat itu justru menyokong Achmad Purnomo yang saat ini masih menjabat wali kota. Tapi secara tiba-tiba semua berubah, dan yang menjadi hal yang cukup tabu adalah kabar kegagalan Purnomo tersebut didapatkan langsung dari Presiden Jokowi ketika ia diundang ke Istana Kepresidenan. Sebagai fasilitas negara dan milik semua rakyat, rasanya sangat tabu jika Istana Kepresidenan dijadikan sebagai tempat membicarakan partai tertentu.
Presiden Jokowi seharusnya mampu menjadi role model bagi anak dan menantunya yang hendak menempuh karir politik. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa Jokowi adalah sosok fenomenal yang mampu mematahkan mitos bahwa panggung politik hanya mampu diduduki oleh pusaran lingkaran elite. Saat itu, Presiden Jokowi bukanlah siapa-siapa, hanya bermodal reputasi dan popularitas saat memimpin Solo, ia mampu mendobrak ruang politik yang sudah lama kedap.
Kala Jokowi terpilih menjadi Presiden, sempat muncul sebuah optimisme bahwa sistem demokrasi Indonesia akan terbuka lebar bagi siapa saja yang memiliki kemampuan dan reputasi yang baik. Namun di periode kedua kepemimpinannya, ia justru meredam optimisme itu sendiri dengan mrestui anak dan menantunya yang masih cukup belia dalam panggung politik. Hmm miris !