TERHITUNG bukan hanya sekali Presiden Jokowi merah-marah akibat penyerapan anggaran penanganan covid-19 tidak maksimal. Amarah orang nomor satu tersebut berdasarkan pada minimnya penyerapan anggaran yang ada, ia menilai semua pihak yang bersangkutan tidak maksimal dalam penanganan diberbagai sektor.
Data 3 Agustus kemarin saja mengatakan bahwa anggaran yang terserap baru 20 persen dari keseluruhan, yakni 141 triliun dari total 625 triliun. Hal tersebut berarti kenaikan penyerapan dari minggu sebelumnya hanya 1 persen saja. Sebab sebelumnya Jokowi menyebut bahwa penyerapan minggu lalu hanya mencapai 19 persen.
Bisa jadi karena hal tersebut, semua pihak nampak seperti berlomba dalam mengalokasikan penggunaan anggaran yang ada. Namun langkah penggunaan anggaran tersebut akhir-akhir ini nampak seperti berlomba untuk segera menghambiskan alokasi anggaran penanganan tersebut.
Sebut saja berbagai macam bansos yang ada, mulai dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa hingga bantuan kepada karyawan swasta yang terkesan serampangan dan tidak teregulasi. Para pemangku kebijakan seolah hanya menghindar amarah Jokowi dan segera menggunakan alokasi dana yang ada.
Bagaimana mau dibilang tepat? Seperti bantuan bagi karyawan swasta yang baru-baru ini mulai hangat diperbincangkan saja sangat terkesan jauh dari kata proporsional dan tepat sasaran. Erick Tohir selaku Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional menyebut bahwa yang berhak menerima bantuan tersebut adalah karyawan swasta yang memiliki BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran 150 ribu per bulan atau setara dengan gaji dibawah 5 juta per bulan.
Hal tersebut tentu memantik kritik pedas di sana-sini. Masalahnya, realita yang terjadi diberbagai daerah justu banyak karyawan dengan gaji kecil yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Apakah hal tersebut kesalahan karyawan? Tentu saja tidak, karena kewajiban tersebut mutlak tanggung jawab pemilik usaha.
Dalam benak saya justru muncul pertanyaan sederhana “Ini Pak Presiden yang kurang jelas instruksinya apa justru punggawanya yang salah menafsirkan kemarahan Pak Presiden?” Ahh entahlah, selagi masih ada dana kenapa tidak dihabiskan saja? Buat ngopi-ngopi cantik misalnya..