SAMIN-NEWS.com, PATI – Jumat Kliwon (7/8) besok, atau 697 tahun lalu hari jadi Pati diperingati dengan menyisakan asa-usul sejarahnya yang tetap abu-abu, meskipun dengan umur tersebut (1323) adalah sama dengan umur Kerajaan Majapahit di bawah Pemerintahan Raja Jayanegara (1309-1328). Karena itu, barangkali suatu saat masih bisa ditemukan situs cikal bakal adanya peradaban Pati yang benar-benar didukung bukti faktual, bukan hanya sekadar cerita tutur tinular.
Sebab, munculnya peradaban di Pati itu disebut-sebut bermula dari penggabungan dua wilayah Kadipaten Carangsoko di sisi utara alur Bengawan Silugonggo di satu sisi, dan di sisi lainnya adalah Kadipaten Parang Garudo di selatan bengawan tersebut. Berfusinya dua kadipaten itu muncul menjadi Kadipaten Pati Pesantenan dengan Adipatinya dalam cerita tutur disebutkan sebagai Kembang Joyo yang berputra Raden Tombronegoro.
Setelah memegangan pemerintahan mengantikan ayahnya Raden Kembang Joyo, maka Raden Tombronegoro memindahkan pusat pemerintahannya ke Kaborongan. Permindahan pusat pemerintahan tersebut oleh Tim Hari Jadi Pati kala itu ditengarai terjadi pada Tahun 1323 dengan candra sengkala ”Kridaning Panembah Gebyaring Bumi.”
Akan tetapi jika hal tersebut dikilas balik ke belakang, adanya peradaban awal adalah dimulainya pemerintahan Kadipaten Carangsoko yang Adipatinya Puspo Andumjoyo. Berarti hingga sekarang bisa ditarik kesimpulan bahwa masa itu sudah 7 abad berlalu, karena tidak selisih jauh dengan masa akhir Kerajaan Singosari di bawah Raja Kertanegara (1293) atau awal pemerintahan Kerajaan Majapahit oleh Raden Wiajaya.
Kendati demikian, kedua kerajaan tersebut tetap mempunyai bukti-bukti peninggalan sejarah yang masih terlihat hingga sekarang. Sedangkan Kadipaten Carangsoko maupun Parang Garudo hanyalah meninggalkan cerita tutur, di antaranya kalau Kadipaten Carangsoko Adipatinya Puspo Handum Jpyo mempunyai seorang putri cantik, namanya Dewi Rayung Wulan dan Adipati Parang Garudo Gurda Pati mempunyai putra Menak Josari.
Untuk Kadipaten Carangsoko, pusat pemerinthannya disebutkan berlokasi di Dukuh Rames, Desa Sukoharjo, Kecamatan Wedarijaksa. Tapi peninggalan bekas pemerintahan kadipaten itu, meskipun hanya sepotong batu bata maupun pecahan keramik dan terakota juga sama sekali tidak ada kecuali cerita tutur tinular bahwa kedua kadipaten tersebut gagal besanan dalam menikahkan putra-putrinya.
Faktor penyebabnya, karena Rayung Wulan kabur bersama dalang kondang, Soponyono, yakni dalang yang bisa menghadirkan wayang berjalan sendiri, dan gamelannya juga berbunyi sendiri tanpa kelihatan penabuhnya. ”Bahkan di tempat itu kadang-kadang masih muncul bunyi gamelan ditabuh, tapi setelah didekati suara gamelan itu menghilang seperti ditelan angin,”tutur Mbah Suranto (70), warga dukuh setempat.
Ketika lokasi pusat Pemerintahan Kadipaten Carangsoko ditanyakan kepada Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pati, Paryanto sampai sekarang dia juga tidak mengetahui kepastiannya. ”Akan tetapi, kami pernah memugar salah sebuah makam yang disebut makam Adipati Puspo Handum Joyo, di Desa Panggungroyom, Kecamatan Wedarijaksa.