Mempertanyakan Kemana Demokrasi Indonesia Akan Bermuara

PEMAHAMAN paling dasar dari kata demokrasi sesuai dengan asal suku katanya yakni kekuatan/kekuasaan rakyat (demos dan kratos). Semantara Abraham Lincoln mendefiniskan demokrasi sebagai sitem pemerintahan yang di selenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Daulat dan kepetingan rakyat adalah kunci dari itu semua.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kehidupan berdemokrasi yang ada di Indonesia? Sebagai pengingat, 2007 lalu Indonesia pernah mendapatkan penghargaan Democracy Award, dari International Association of Political Consultants (IAPC) di Bali, dan bahkan diakui sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia (setelah Amerika Serikat dan India).

Sayangnya, hanya butuh tahun saja Indeks Demokrasi Global 2011 justru menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang disurvei. Data tersebut mengatakan bahwa Indonesia jauh dibawah Timor Leste, Papua Nugini dan Thailand.

Bahkan Indonesia masuk dalam kategori cacat demokrasi yang ditandai oleh pemilu kotor, pemerintahan korup dan keterancaman pluralisme. Bila ditelisik lebih dalam, bahkan demokrasi prosedural kita di masa sekarang ini sangat bisa dipertanyakan. Agenda pemajakan dan pelemahan demokrasi kian erat terasa.

Jika kita perhatikan, aturan terkait pemilu saja sering kali diganti. Bila kita kaji lebih jauh, revisi tersebut tentu bukan berorentasi pada masyarakat. Tetapi lebih berinduk pada kepentingan politik bagi beberapa orang saja.

Etika para elit sudah lama raib entah ke mana. Panggung pemilu di pusat dan daerah sekadar ajang bancakan dan transaksi buat mereka, sementara rakyat hanya sebagai penggembira. Bukti paling nyata adalah praktik politik uang dan politik dinasti yang kian subur dan seolah dianggap sebagai kewajaran.

Hal seperti ini tentu juga akan mempengaruhi rakyat secara psikologis yang akan kian pragmatis dan apatis terhadap demokrasi di Indonesia. Bahkan ketika sebuah kontestasi sedang berlangsung, masyarakat sebagai pemilih sudah menganggap politik uang atau serangan fajar sebagai sebuah kewajaran.

“Kita kan orang kecil, kalau serangan fajar tidak kita terima, kita mau dapat apa?,” ungkapan seperti itu tentu sangat lazim kita dengar. Tentu hal seperti ini dipicu oleh lelahnya masyarakat terhadap sistem demokrasi yang ada. Jika seperti ini terus, tentu kita tidak akan tahu sampai kemana demokrasi Indonesia akan bermuara.

Previous post Layanan Kesehatan Puskesmas Dukuhseti Ditutup Hingga 24 Agustus
Next post Penyaluran BLT DD Tahap Ketiga di Pati Baru 100 Desa

Tinggalkan Balasan

Social profiles