60 Bakal Calon Pilkada Terkonfirmasi Positif Covid-19, Masihkah Efektif ?

PILKADA serentak yang akan diselenggarakan 9 Desember mendatang menyimpan sejumlah permasalahan lantaran tetap diselenggakan di tengah pandemi covid-19. Salah satu yang kini tengah menyeruak yakni terkait banyaknya calon kepala daerah yang justru terkonfirmasi terinfeksi virus corona.

Sebelumnya, sejumlah pihak memang mempermasalahkan Pilkada Serentak 2020 yang tetap diselenggarakan meskipun pandemi belum berakhir. Mereka mendesak agar Pilkada ditunda dengan sejumlah kekhawatiran, mulai dari faktor pilitis hingga kekhawatiran menimbulkan klaster baru.

Belum juga usai desakan tersebut, kini justru sejumlah bakal calon kepala daerah terkonfirmasi positif covid-19. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya pun mencapai angka 60 bakal calon kepala daerah.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito menyebut bahwa perlu adanya peningkatan pengawasan dan anitisipasi penularan covid-19. Ia menyabut bahwa protokol kesehatan menjadi kunci utama suksesnya pelaksanaan pilkada. Keselamatan rakyat pun harus menjadi prioritas utama dalam proses penyelenggaraan pilkada.

Berdasarkan laporan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga saat ini tercatat ada 234 pelanggaran yang dilakukan bakal calon maupun partai politik. “Beberapa pelanggaran tersebut di antaranya, ada yang positif saat mendaftar, terjadi kerumunan seperti arak-arakan pendukung, tidak jaga jarak, dan tidak melampirkan hasil swab saat mendaftar,” ucap Prof. Wiku.

Dengan sejumlah carut-marut tersebut, tentu sangat wajar jika publik menyangsikan pilkada nanti akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Apakah pengetatan protokol kesehatan saja cukup? Apakah hanya faktor kesehatan saja yang perlu dipertimbangkan dalam menggelar pilkada di tengah kondisi pandemi?

Ketua Network for Indonesian Democratic Society (Netfid Indonesia) Dahliah Umar, sempat menyampaikan pendapatnya bahwa pilkada di tengah pandemi berpotensi melanggar 4 prinsip.

“Pertama, resiko penularan covid-19 secara tak langsung, risiko akurasi data, dan ketepatan dalam verifikasi orang,” ungakpnya.

Kedua, prinsip keadilan dalam kontestasi dan persaingan. Menurut dia, calon inkumben diuntungkan karena tak perlu memperkenalkan diri.

Prinsip ketiga yang dilanggar ialah integritas dan kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU menyelenggaran Pilkada 2020 dengan mempertaruhkan nyawa. Mereka harus melindungi diri agar tak tertular covid-19 saat tahapan pilkada. Mereka juga diburu waktu menyiapkan aturan dan anggaran untuk menyesuaikan pesta demokrasi saat pandemi.

Prinsip terakhir, yakni konsistensi aturan undang-undang. Beleid yang dimaksud ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor (Perppu) 2 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Aturan menyebut proses tahapan pilkada bisa ditunda jika terjadi bencana non-alam berskala besar.

Jika ternyata secara prinsip memang telah melanggar 4 prinsip dan ditambah lagi kenyataan bahwa banyak bakal calon kepala daerah yang ternyata covi-19. Tentu sangat wajar jika masyarakat mempertanyakan efektivitas pilkada serentak kali ini.

Selain itu, yang paling sederhana dan mendasar adalah anggapan bahwa pemilu merupakan sebuah pesta rakyat. Katanya pesta rakyat? Tapi nyatanya masyarakat justru banyak yang mempertanyakan hal tersebut. Atau jangan-jangan ini justru pesta para elite politik saja??

Previous post Baca Buku Digital dengan Aplikasi “iPatiPintar”
Next post Camat Gembong; Upayakan Bisa Secepatnya Dilakukan Tracking Para Pedagang Pasar

Tinggalkan Balasan

Social profiles