SECARA misterius, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas-PA) membuat publik terperanjat tatkala ia menyerukan larangan penggunaan kata “Anjay”. Dalam konteks ini, Komnas-PA terasa sangat mengada-ada dan terkesan ingin numpang eksis saja.
Publik sontak menyeringai tatkala kata “Anjay” ditengarai dapat merendahkan martabat manusia. Lebih terperanjat lagi karena pengguna kata anjay dapat dikenai pidana. Sungguh hal yang sangat tidak penting dan sangat tidak substantif, mangapa demikian? Sebab setidaknya ada 69 lema dalam KBBI V yang tergolong ragam kasar. Itu baru yang ada dalam KBBI, belum lagi kata-kata yang lain yang biasa digunakan dan tak terhitung jumlahnya.
Pertanyaannya adalah, kenapa hanya kata “Anjay” yang dilarang jika latar belakangnya adalah dianggap merendahkan martabat manusia?
Yang jelas, seruan Arist Merdeka Sirait sebagai Ketua Komnas-PA kali ini memang sungguh hanya berujung pada kesia-siaan. Jika mungkin hal ini diserukan lantaran ramainya perundungan, hal ini juga jelas berujung sia-sia karena tidak akan menyelesaikan masalah perisakan dan perundungan terhadap anak-anak.
Lagi pula, apa salah anjing, anjir, ataupun anjay. Toh, sebenarnya mereka tidak lebih dari hewan lucu nan menggemaskan dan setia saja. Malah ada anjing yang lebih merindu dibanding manusia. Ada juga yang kesetiaannya melampaui kesetiaan manusia. Hachiko, misalnya. Saya sekadar memberikan satu contoh.
Jika kata anjing, anjir dan anjay diperlakukan seperti itu, lalu bagaimana dengan kata babi, celeng, monyet dan yang lainnya? Bukankah sebenarnya mereka sama saja? Jika konteksnya adalah dianggap merendahkan, tentu kata apapun dapat mewakili. Bapak kau misalnya ! Mamak kau misalnya !
Perlu diketahui wahai Pak Arist, manusia itu makhluk berakal. Jika anjay kau cekal, tentu mereka dengan mudah menempuh jalan lain untuk meluapkan rasa sebal. Bapakmu misalnya, bisa berkonotasi umpatan jika diujarkan sebagai ungkapan kejengkelan, kedongkolan, atau kemarahan. Begitu juga dengan Ibumu.
Ketika Komnas PA melarang penggunaan kata anjay, anak-anak bisa menggunakan bangsat, bangke, setan, atau taek. Artinya, bukan kata tertentu yang mesti dilarang. Bukan. Tindakan seperti itu tiada berbeda dengan melihat curut berkeliaran di dapur lantas kita bakar dapur di rumah kita. Dapur terbakar, curut entah lari ke mana.
Jika memang hal ini ditempuh dalam rangka melindungi anak dari perundungan, mbuk ya yang logis sedikit to pak. Apa jangan-jangan keriuhan ini hanya untuk mencari panggung saja pak? Aku sih berpikir positif lho pak !