CERITA mengenai pendidikan di tengah masa pandemi tentu bukan hal yang baru lagi. Para siswa, orang tua, dan guru harus jungkir balik dalam penerapan pembelajaran jarak jauh. Di daerah terluar dari pusat negara, cerita siswa harus menempuh cara tak masuk akal untuk mendapatkan akes internet tentu bukan hal yang baru.
Ditempat lain ada pula keluarga yang tak memiliki ponsel sama sekali, bahkan sekalipun mudah dalam mengakses jaringan internet, nyatanya banyak keluarga yang merasa kewalahan dalam membeli kuota internet disaat ekonomi sedang digulung pagebluk yang sedang terjadi.
Secara tidak langsung, dalam 6 bulan masa penerapan pembelajaran daring yang diberlakukan oleh Manteri Pendidikan Nadiem Makarim justru semakin menunjukkan wajah dan rupa ketimpangan yang ada dalam pendidikan di Indonesia.
ISEAS-Yusof Ishak Institute, 21 Agustus lalu membeber sebuah hasil riset yang menunjukkan ketimpangan nyata di dunia pendidikan di tengah masa pandemi yang terjadi di Indonesia.
Hampir 69 juta siswa kehilangan akses pendidikan dan pembelajaran saat pagebluk. Namun, di sisi lain, banyak kelompok siswa dari keluarga mapan lebih mudah belajar jarak jauh. Ini implikasi dari ketimpangan, tulis riset itu.
Lebih lanjut, riset tersebut menyebut bahwa hanya 40 persen warga Indonesia yang memiliki akses internet. Hal tersebut tentu semakin membuka tabir bahwa ada ketimpangan infrastruktur yang terjadi di Indonesia.
Tentu ketimpangan seperti ini semakin mengemuka ketika pandemi berlangsung, akses pendidikan yang didapatkan seseorang berbanding lurus dengan kekuatan ekonomi keluarga. Semakin miskin seseorang, semakin sedikit pula akses untuk mendapatkan hak pendidikan di masa pandemi ini.
Yahh, ketidakadilan dan ketimpangan dalam hal apapun memang jelas adanya. Sebenarnya hal seperti itu bukanlah hal baru dan hanya ada di masa pandemi, akan tetapi barangkali momen pandemi ini justru membuka tabir dan mendekatkan fenomena seperti itu lebih dekat dengan mata para penguasa.