MENJELANG momen Pilkada Serentak 2020 yang tetap ngotot digelar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPKbeberapa waktu yang lalu merilis sejumlah modus korupsi yang biasa dipakai oleh kepala daerah untuk mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan saat pencalonan.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi Giri Suprapdiono dalam sebuah webinar yang disiarkan langsung di kanal Youtube milik KPK.
“KPK sudah mengidentifikasi, jadi kalau ibu bapak nanti setelah memimpin melakukan ini, KPK sudah tahu modusnya,” tegasnya dalam kesempatan tersebut.
Dari keterangan tersebut, KPK mengidentifikasi bahwa ada 6 modus yang biasa digunakan oleh kepala daerah setelah dirinya terpilih.
Pertama, jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah, mulai dari jabatan kepala dinas, sekretaris daerah, hingga kepala sekolah.
Kemudian yang kedua adalah, korupsi pengadaan barang dan jasa yang baru dapat dilakukan kepala daerah setelah memiliki wewenang merencanakan anggaran.
Pada poin kedua ia menjelaskan beberapa hal yang dilakukan dalam korupsi pengadaan barang dan jasa antara lain penerimaan kickback ataupun pengaturan pemenang lelang pengadaan.
Modus ketiga, jual beli perizinan, mulai dari perizinan membangun hotel, rumah sakit, pusat perbelanjaan, hingga perkebunan.
“Modus berikutnya adalah korupsi anggaran, sudah pintar, kenal sama DPRD. Jadi sebelum dieksekusi pun sudah terjadi,” tambahnya.
Modus kelima, penerimaan gratifikasi. Giri mengingatkan bahwa setiap penerimaan gratifikasi dapat dikenakan piadana bila tidak dilaporkan ke KPK dalam waktu 30 hari.
“Enggak minta pun dikasih karena jabatannya bupati/wali kota. Belum masuk ke ruangan rumah dinas, semua perabotan sudah diisi dan yang isi pengusaha,” ungkapnya mencontohkan praktik gratifikasi.
Yang terakhir adalah penggelapan pendapatan daerah, contohnya, ketika ada pungutan pajak yang tidak disetorkan ke kas daerah, tetapi malah dibagi-bagikan di kalangan pejabat daerah dan oknum-oknum lainnya.
Lebih lanjut ia pun mengungkapkan bahwa selama ini pihaknya sering mendapati kepala daerah yang ketika sudah menjabat justru terkesan hanya ingin mencari ganti ongkos politik yang telah dikeluarkan. Bahkan seringkali setelahnya juga mencari tambahan lain untuk ongkos Pilkada berikutnya.
Jika kita merujuk pada kajian Kementerian Dalam Negeri, biaya yang biasa dikeluarkan untuk menjadi bupati/wali kota sebesar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar, sedangkan untuk menjadi gubernur sebesar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Dengan ongkos pilitik sebesar itu, tentu tidak heran jika banyak kepala daerah yang kalap setelah dirinya menjabat. Jika budaya ongkos pilitik dengan nilai fantastis terus berlangsung, sudah tentu kondisi seperti itu akan tetap berlangsung dalam jangka yang cukup lama.
Karena sejatinya, secara tidak langsung otak kita sudah terbiasa terpola dengan hukum transaksional memberi dan menerima. Untuk memutus mata rantai korupsi di Indonesia, tentu kita akan dihadapkan dengan segudang problematika yang sangat komplek.
Yang paling sederaha dan dekat dengan kita adalah praktik serangan fajar. Kita tentu biasa mendengar ucapan skeptis masyarakat bahwa ia hanya akan memilih calon yang memberi uang saja. Kondisi semacam ini kan jelas tentu menjadi salah satu faktor mahalnya ongkos politik di Indonesia.
Ahh, ngomong praktik korupsi memang tidak akan ada ujung pangkalnya. Sederhananya, praktik korupsi merupakan dosa sistematis yang disuburkan oleh semua pihak termasuk masyarakat itu sendiri. Hmm Pusing !!