BEBERAPA waktu yang lalu, Dewan Pimpinan Pusat Jam’iyah Batak Muslim Indonesia atau JBMI mengusulkan nama Presiden ke-5 RI Megawati Soekarno Putri untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Usulan tersebut sekilas memang terasa sangat mengagetkan, tak ada angin tak ada hujan secara tiba-tiba nama Megawati diusulkan sebagai Pahlawan Nasional lantaran dianggap pernah berjasa melawan penindasan.
Menurut Albiner Sitompul, Ketua Umum DPP JBMI, Megawati pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional karena berani melawan rezim Soeharto saat partai PDI yang dipimpinnya dipecah belah hingga kemudian Megawati mendirikan PDI-Perjuangan.
Sementara PDI yang satunya dipimpin Suryadi yang dianggap sebagai boneka Soeharto.
Lebih lanjut, dalam keterangannya sendiri JMBI mengusulkan Megawati menjadi pahlawan demokrasi, tentu dengan akan datangnya momentum hari pahlawan nasional 10 November nanti.
Namun, layakkah Megawati menyandang gelar Pahlawan Nasional tersebut?
Jika kita mengacu pada definisi pahlawan dalam UU Nomor 20 Tahun 2009, gelar Pahlawan Nasional hanya diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara.
Selain itu, jika tolak ukur pahlawan nasional itu hanya berhenti pada urusan melawan penindasan tanpa spesifik siapa yang menindas dan dilawan, tentu kita akan memiliki banyak pahlawan nasional baru.
Bukan hanya Megawati, tentu siapapun yang melawan penindasan juga bisa disebut sebagai pahlawan nasional. Sebut saja Marsinah, tokoh yang dianggap pahlawan dan berjasa sebagai simbol perjuangan buruh untuk melawan kesewenang-wenangan kapitalisme di Indonesia.
Belum lagi Widji Thukul yang juga melawan rezim Soeharto dengan kekuatan rangkaian kata dalam puisi yang ditulisnya.
Atau barangkali tolak ukurnya adalah melawan penindasan rezim Soeharto, ada 4 mahasiswa Trisakti yang gugur dihujam peluru aparat dalam demonstrasi menuntut reformasi. Ialah lang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendrawan Sie.
Namun Karena berskala nasional, Gelar Pahlawan Nasional hanya bisa ditetapkan oleh presiden. Sejak dilakukan pemberian gelar ini pada tahun 1959, nomenklaturnya selalu berubah-ubah.
Meskipun begitu, kita juga tidak bisa menolak atau menganggap bahwa Megawati tidak layak dianggap sebagai pahlawan nasional. Sederet jasanya untuk bangsa dan negara tentu tidak bisa dipungkiri keberadaannya.
Bahkan menurut saya peribadi, tidak perlu menunggu disahkan oleh negara, Megawati memang sudah pahlawan sedari awal sejak awal dihati para loyalisnya.
Sudahlah, tidak perlu diperdebatkan Mengawati memang pahlawan kok, pahlawan apapun termasuk demokrasi jika memang ada orang atau kelompok yang menganggapnya seperti itu. Sebab menganggap orang lain seperti apa adalah hak masing-masing individu.