Jangan Pernah Berani Membajak “Tuhan”

DI NEGERI kita Indonesia, partai nasionalis maupun yang berbasis agama pada akhirnya sama-sama bersepekat untuk menjunjung tinggi peran dan porsi agama dalam tatanan masyarakat. Secara tidak langsung, hal tersebut telah terpatri dan termanifes pada lahirnya UU Haji, UU Wakaf, UU Zakat, dan UU Perkawinan dan sebagainya.

Bahkan saya yakin semua pihak pun mengakui bahwa dalam kontestasi politik, hampir semua partai politik akan mengkomodifikasi segala potensi, termasuk isu agama guna mengerek popularitas, elektabilitas maupun aksepabilitas kandidat dalam kontestasi tersebut.

Hanya saja, partai yang berbasis agama biasanya memang lebih fasih dalam menggunakan isu agama dalam segala kesempatan. Dalam sebuah penelitian, PKS menggunakan isu agama sebagai instrumen politik. PKS mengajak umat aktif mengikuti Aksi Bela Islam. Demikian juga Amien Rais, Fahri Hamzah, dan Cholil Ridwan dalam jejak digitalnya seirama dengan gerakan Aksi Bela Islam.

Pilihan untuk mengkomodifikasi agama tentu bukanlah hal yang mutlak keliru. Dalam beberapa titik, hal seperti ini tentu bisa diterima dan ditoleransi oleh semua pihak. Hanya saja, tentu kita tidak bisa mentoleransi komodifikasi yang mengarah pada radikalisme dan politisasi agama.

Sederhanya, dari kacamata saya politisasi agama adalah suatu konstruksi penggunaan isu agama dalam menghantam dan menyerang lawan politik yang jika dinilai secara substantif isu tersebut tidak relevan dan berbau hoaks dan mengarah pada ujaran kebencian.

Jika kita mengambil sample, isu komunis untuk membangkitkan sentimen berbau agama rasanya bisa kita jadikan sebagai sebuah contoh. Atau contoh lain dari politisasi agama ialah pemilihan kepala daerah dan presiden beberapa waktu lalu.

Pada kontestasi semacam ini, salah satu kandidat akan menghubungkan pilihan politik dengan urusan surga dan neraka. Mereka dengan mudahnya seolah menyeret “Tuhan” dalam konteks yang sangat tidak sopan.

Jika mengingat hal semacam ini, secara tidak langsung ingatan saya akan begitu saja membuka memori tentang ucapan Said Aqil Siroj yang pernah mengungkapkan “Jangan ajak Tuhan untuk berkampanye” dan “Jangan pernah membajak tuhan”

Politisasi agama akan menggiring seseorang tidak hanya enggan memilih calon korban isu, tapi juga berimplikasi kebencian bermotif agama. Berpolitik seperti ini, berpikir jangka pendek dan berbahaya bagi keharmonisan masyarakat di saat kelatahan melakukan ujaran kebencian yang berbiak.

Selain politisasi agama, ada pula kontestan yang menarik simpati massa dengan mengeksplorasi simbol ataupun gawe agama baik berupa jubah, serban, aktif pengajian, dan ‘asesoris’ religi lainnya. Misi yang ingin diafirmasikan kepada pemilih, bahwa si calon mempunyai kedekatan dengan konstituen. Calon ingin meleburkan diri ke dalam religiositas mereka, tentu tujuannya ialah politik.

Sederhanya membawa agama dalam urusan tertentu memang diperbolehkan, akan tetapi jangan sampai kita tidak tahu porsi dan membawa terlalu jauh agama untuk berselancar dalam kepentingan yang tidak sesuai konteksnya. Sing penting bijak lah !

Previous post Akses Jalan Alternatif ke Goa Pancur Menunggu Giliran Perbaikannya
Next post Bantuan BPNT Reguler dan Perluasan Direncanakan Dijadikan Satu

Tinggalkan Balasan

Social profiles