DI TENGAH kemelut UU Cipta Kerja, secara tiba-tiba publik digegerkan oleh enam Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputera oleh Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu.
Sebenarnya bukan hanya keenam hakim MK saja, setidaknya ada 71 pejabat negara/mantan pejabat negara Kabinet Kerja 2014-2019 serta ahli waris dari para tenaga medis dan tenaga kesehatan yang gugur dalam menangani Covid-19 yang mendapat bintang mahaputera dan bintang jasa.
Lantas mengapa publik begitu riuh dengan hal tersebut? Jawabannya sederhana, hal tersebut dipermasalahkan lantaran adanya kecurigaan bahwa penghargaan tersebut sebagai bentuk intervensi Jokowi terhadap independensi kehakiman di MK. Terlebih saat ini Jokowi tengah menjadi pihak yang tergugat dalam urusan UU Cipta Kerja.
Namun dari perspektif saya pribadi, masalah polemik pemberian tanda jasa kali ini berawal dari ketidaklaziman momen yang dipakai saja. Sebab, biasanya pemberian tanda jasa semacam ini hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun menjelang HUT Republik Indonesia saja.
Akan tetapi berbeda dengan tahun ini, pemberian tanda jasa kepada 71 pejabat tersebut merupakan kali kedua setelah pemberian tanda jasa kepada 51 pejabat negara pada Agustus lalu.
Meskipun demikian, pemerintah sebenarnya telah memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Dari apa yang disampaikan, hal tersebut hanyalah sebagai upaya untuk meminimalisasi terjadinya kerumunan di masa pandemi Covid-19. Itulah alasannya mengapa tahun ini menjadi berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Kembali kepada masalah hakim MK yang mendapatkan tanda jasa pada periode kedua tersebut, apakah hal semacam ini bisa kita anggap sebagai sebuah hal yang salah atau bahkan dapat mengurangi indepensi hakim tersebut?
Secara prinsip memang tidak, Karena di sini posisi presiden selaku kepala negara. Sekali lagi bahwa presiden selaku kepala negara memberikan itu karena menjalankan konstitusi. Tindakan pemerintah tersebut sudah berdasar dan sesuai aturan yang berlaku (UUD 1945, UU Nomor 20 Tahun 2009, dan PP Nomor 35 Tahun 2010).
Lalu mengapa banyak pihak yang begitu riuh mempersoalkan pemberian tanda jasa tersebut? Ya, seperti yang dijawab duluan oleh Moeldoko, bahwa dengan diberi tanda jasa, independensi hakim MK menjadi dipertanyakan. Manakala kemudian para hakim bersikap tidak seperti yang dituduhkan, artinya tetap profesional, tetap saja anggapan buruk terarah kepada mereka.
Betapa tidak, beberapa hari setelah penganugerahan, sebagian pengamat (termasuk juga kalangan buruh yang berdemonstrasi menolak UU Cipta Kerja) mengaku “mencium” aroma politik. Istilah miripnya, “ada udang di balik batu”.
Bahkan banyak pengamat meminta agar keenam hakim MK tadi mau mengembalikan Bintang Mahaputera kepada negara, jika tidak ingin disebut “tangan kanan” pemerintah. Apalagi belakangan pemerintah sedang berupaya mempertahankan keberadaan UU Cipta Kerja dan UU lainnya.
Sederhanya, jangan sampai hakim justru menjadi terbelenggu sehingga seolah mempunyai kewajiban untuk mempermulus segala kepentingan politik termasuk mengenai UU Cipta Kerja. Tepatnya, demi menghindari conflict of interest (benturan kepentingan).
Lantas siapa yang salah dalam hal tersebut? Sebenarnya tidak ada yang salah, sebab tentu kita juga tak lantas bisa menyalahkan pengamat yang mengkritik habis-habisan hal tersebut. Sebab, siapa pun pasti berprasangka demikian. Walaupun pada kenyataannya ke depan, para hakim konsisten, profesional, dan independen.
Namun, hakim MK yang menerima pun tidak salah juga dalam hal ini. Mereka berhak menerimanya dan tidak melanggar aturan. Konstitusi mengizinkannya. Hanya momennya yang tidak tepat, selain untuk menjaga marwah dan kehormatan lembaga.
Barangkali jika kita lebih suka dengan salah dan menyalahkan, pemerintah lah yang sebenarnya layak kita sebut salah meskipun tidak sepenuhnya. Sebab pemerintah yang mengatasnamakan negara berkewajiban menjalankan amanat konstitusi, salah satunya memberi penghargaan kepada tokoh dan pejabat yang terbukti berjasa.
Pokok permasalahnnya ada pada salahnya momen yang dipilih pemerintah saja. Sebab penganugerahannya tidak harus pada saat seorang hakim tengah aktif menjabat. Sebaiknya usai pensiun dari jabatan, supaya penilaian negatif dari publik menjadi nihil. Di sinilah letak kesalahan pemerintah. Kurang sensitif membaca keadaan.
Apapun jika salah momen kan ya tidak baik to akhirnya, ibarat mau nembak cewek tapi kamu datangi dia pas di dalam WC kan tentu tidak tepat to! Alih-alih diterima, kita pasti justru dianggap mau ngintip dan berotak mesum kan?? hehe