KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan belum lama ini mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang cenderung bisa dikatakan mengarah pada mekanisme pasar. Kebijakan terbaru ini tertuang pada Permendikbud Nomor 3 tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Secara garis besar, inti dari aturan tersebut adalah untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai produk jadi untuk memenuhi pasar lapangan kerja yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, keterampilan dan kompetensi kerja menjadi titik tekan dalam regulasi yang diterbitkan pemerintah tersebut.
Dalam salah satu tulisannya, David Labaree seorang peneliti asal Standford University mengatakan bahwa pendidikan sebagai pemberi persiapan keterampilan untuk bekerja sebagai alat persaingan di dunia kerja bisa berbahaya pada pencarian pengetahuan dan menanamkan kebenaran.
Hal ini didasari dari pencarian keterampilan dari sekolah bisa dengan mudah menjadi bertumpu pada kredensial. Hal ini juga terjadi ketika partisipasi tentang ketrampilan untuk bersaing di dunia kerja maka siswa akan berubah menjadi konsumen.
Sementara itu, mantan presiden Harvard University, Derek Bok pernah mengatakan bahwa calon mahasiswa tidak bisa membandingkan universitas mana yang memberikan kualitas pendidikan terbaik tapi hanya bisa melihat kredensial terbaik.
Seperti kita ketahui, sejatinya untuk membandingkan kualitas pendidikan bukanlah sebuah hal yang mudah nan sederhana. Kita tidak bisa mencoba dahulu produk dari universitas untuk mengetahui apakah pendidikan yang diberikan oleh dosen dan sistem pendidikannya sesuai dengan dirinya sebelum berpartisipasi di lembaga pendidikan pilihannya tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, secara tidak langsung tentu akan berdampak pemilihan perguruan tinggi. Setidaknya seolah kita akan memilih perguran tinggi bukan karena kualitas dan mutu pendidikannya, melainkan hanya menitik beratkan pada urusan prestige.
Sebenarnya, dalam hal ini perguruan tinggi hampir tidak ada bedanya dengan tas maupun produk fashion lainnya. Kualitasnya tidak bisa ditentukan secara substansi melalui kualitas pendidikannya, tetapi lebih mengarah pada efek dari brand kepada si pemakai.
Hal ini menyebabkan universitas besar lebih fokus pada penelitian bukan memperbaiki pengajaran. Dosen peneliti bisa terkenal di seluruh dunia dengan karyanya. Sementara dosen yang menjadi pengajar yang baik hanya akan dikenal pada tingkat fakultasnya atau paling top pada universitas.
Bagi universitas, seorang pengajar yang baik namun peneliti yang buruk tidak terlalu berguna untuk menambah kredential bagi lulusan mereka. Pihak universitas akan lebih menghargai peneliti tingkat dunia walaupun ia memiliki akuntabilitas yang buruk di ruang perkuliahan. Hasil penelitian akan membantu uniuversitas mendapatkan ranking yang tinggi dan juga nama besar di kalangan dunia pendidikan.
Padahal sejatinya, peranan pengajar yang baik mutlak diperlukan untuk pertumbuhan perguruan tinggi dan mahasiswanya secara lebih esensi. Mengapa demikian?
Seorang peneliti yang baik terkadang sangat fokus pada penelitiannya dan sangat jarang bisa membagikan waktu dengan mahasiswa dan memberi bantuan kepada seluruh mahasiswanya atas kesulitan yang mereka hadapi.
Sementara itu, seorang pengajar yang baik harus rela memberikan sebagian besar waktunya untuk mencari tahu kebutuhan dan kesulitan dari siswanya. Hal ini terjadi karena kebutuhan tiap personal mahasiswa berbeda.
Oleh sebab itu, dalam hal ini Kemendikbud sudah seharusnya lebih memperhatikan pendidikan lebih kearah substansi. Bukan justru menjadi mesin pencetak tenaga kerja untuk memenuhi pasokan dan kebutuhan pasar.
Pemerintah perlu lebih bijak dalam mengahadapi sesuatu, sebab jika kita mengacu pada fungsi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah penguasaan diri, sebab disinilah pendidikan memanusiakan manusia (humanisasi).