Ketika Sentimen Agama Berselancar Jauh ke Ruang Publik

DI NEGERI kita Indonesia, urusan privat seperti agama sudah sangat biasa masuk terlalu jauh ke dalam ruang publik. Negara republik yang seharusnya tidak berpihak dan memiliki identitas yang mewakili kelompok tertentu justru menjelma instrumen yang tak konsisten dalam dirinya sendiri.

Bukan hanya sesekali, sebenarnya sudah terlalu sering ranah privat tersebut justru berhasil berselancar dan merusak ruang-ruang publik.

Seperti yang terbaru, terkait pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol, para pengusul di lembaga DPR dalam pemaparannya justru memasukkan kutipan ayat kitab suci sebagai salah satu landasan minuman alkohol urgen untuk dilarang.

Hal seperti ini sudah jelas sangat mencederai pluralisme yang terus digembar-gemborkan di Indonesia. Bukan hanya agama sebenarnya, urusan ekonomi dan urusan ranjang sekalipun juga acapkali secara sewenang-wenang diintervensi jauh ke dalam ruang publik.

Sebab negara sudah seharusnya mampu menjaga dan menjamin yang privat untuk tidak mengganggu apa yang menjadi urusan publik. Tapi yang terjadi sebaliknya, sebagai contoh, bukannya merancang aturan yang melarang warga tidak boleh mengemudi dalam keadaan mabuk, legislatif toh justru melarang minum minuman beralkohol. Dasarnya kitab suci pula, mantap !!

Jika kita mau merunut, banyak hal sebenarnya. Hanya saja secara garis besar semua keriuhan yang selama ini terjadi hanyalah berpusar pada urusan privat yang dipaksa untuk melompat jauh ke ranah publik.

Bahayanya adalah jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ada lagi batas-batas yang jelas antara dua medan berbeda ini maka sesunguhnya benih-benih totalitarianisme itu terus tumbuh. Mungkin dengan varian yang berbeda.

Padahal jika dalam hal ini konteksnya dikaitkan dengan RUU Minol, seperti kita ketahui bahwa Indonesia bukan hanya milik umat muslim saja. Bahkan, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyebutkan bahwa RUU Minol jelas tidak relevan jika diterapkan di Indonesia.

Menurutnya, minuman beralkohol merupakan komoditas yang secara legal dapat dikonsumsi dan diperjualbelikan di Indonesia seturut dengan peraturan yang berlaku.

“Selain itu, rasanya kurang tepat jika sebagai negara hukum, Indonesia masih memberlakukan peraturan yang cenderung mengabaikan aspek pluralitas keagamaan di Indonesia,” tuturnya.

Lebih lanjut ia menjabarkan tidak ada larangan yang secara eksplisit mengatakan bahwa minuman beralkohol bertentangan dengan konstitusi.

Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2014 hingga Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019 telah memberikan payung hukum untuk pembatasan dan pengawasan dari minuman beralkohol di Indonesia.

Yahh, bukannya apa-apa. Tapi mbuk ya kalau membuat aturan itu jangan sampai memihak kepada salah satu kelompok saja. Terlebih ini urusan sentimen agama, ini jelas justru akan memincu lunturnya nilai-nilai demokrasi. Saya berpendapat seperti ini bukan karena saya pemabuk lho Pak !! Hihi

Previous post Operasi Yustisi Masih Akan Terus Dijalankan oleh Satpol PP
Next post Sampaikan Kekecewaan Terkait Pengisian Perangkat Desa, Pasopati Audiensi dengan Komisi A

Tinggalkan Balasan

Social profiles