ORGANISASI non-profit asal Belanda, Greenpeace Internasional bersama dengan Forensic Architecture menyampikan dugaan anak perusahaan asal Korea Selatan, Korindo Grup merupakan dalang dari pembakaran hutan yang terjadi di Papua dengan alasan akan digunakan sebagai lahan perkebunan sawit.
Dalam sebuah rilisan di situs Greenpeace menyebutkan bahwa perusahaan Korindo memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di Papua dan telah menghancurkan sekitar 57.000 hektare hutan di provinsi tersebut sejak 2001.
Bahkan dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa luas wilayah yang telah dihancurkan oleh wilayah tersebut bisa dikatakan setara dengan luas Seoul ibukota Korea Selatan.
Dalam penelitian tersebut, tim gabungan dua organisasi menggunakan citra satelit NASA untuk mengidentifikasi sumber panas dari kebakaran lahan yang berlokasi di Merauke, Papua tersebut.
Selain itu, mereka menggunakan data yang dikumpulkan dari rekaman video survei udara. Lewat metode tersebut, tim peneliti menemukan pola deforestasi dan kebakaran tersebut menunjukkan bahwa pembukaan lahan menggunakan api.
“Jika kebakaran di konsesi Korindo terjadi secara alami, kerusakan lahannya tidak akan teratur. Namun, setelah dilacak dari pergerakan deforestasi dan kebakaran dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa hal itu jelas terjadi secara berurutan dengan kebakaran yang mengikuti arah pembukaan lahan dari barat ke timur dan terjadi secara besar-besaran di dalam batas konsesi Korindo,” kata peneliti senior Forensic Architecture, Samaneh Moafy.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Irwan mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas dugaan kasus tersebut.
“Jika sudah bertahun-tahun melakukan itu, layak diberi sanksi administratif terminasi izin atau pengurangan areal izin yang belum dibuka dan areal itu dikembalikan saja ke masyarakat adat,” ujarnya.
Apa yang disampaikan oleh Irwan tentu bukanlah hal yang begitu saja harus dilupakan. Sebab pembukaan lahan dengan cara membakar merupakan pelanggaran dan diancam denda serta pidana.
Hal tersebut sudah tecantum jelas dalam berbagai regulasi seperti Pasal 78 Undang-undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 69 dan 108 UU 32 Nomor 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (PPLH), serta Pasal 56 dan 108 UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Metode pembakaran seperti ini biasanya dilakukan sebagai upaya menghindari pembukaan lahan secara mekanis dan menggunakan alat berat, karena itu berkali lipat lebih mahal pembiayaannya.
Pemerintah memang sudah saatnya tidak menutup mata terkait nasib tanah adat yang ada di Indonesia. Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin keberadaan tanah adat di Indonesia akan semakin terancam keberadaannya.