Netralitas Birokrat Dalam Gelombang Politik

MENGACU dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Birokrat” berarti seseorang yang menjadi anggota birokrasi, di dalam banyak literatur birokrat diidentikkan sebagai pegawai pemerintah yang menjalankan tugas – tugas administratif.

Di Indonesia sendiri, birokrat seringkali dikenal sebagai Pagawai Negeri Sipil (PNS) yang kini telah berubah namanya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Pada masa seperti sekarang ini, birokrat seringkali menjadi buah bibir di masyarakat yang tengah melaksanakan Pilkada. Tentu akan sangat mudah kita temukan gosip perihal netralitas birokrat dalam kondisi seperti ini.

Birokrat yang secara konstitusional diwajibkan bersikap netral, justru kini tak jarang melakukan hal yang berbeda yang tentu sangat bertentangan dengan kaidah yang ada.

Bahkan beberapa waktu lalu, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat pada pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020 ini, yang pencoblosannya akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 nanti, sudah ada 694 PNS yang diduga melakukan pelanggaran netralitas dalam pelaksanaan Pilkada.

Ketua KASN menyebutkan bahwa sudah ada 492 orang yang telah diberikan rekomendasi penjatuhan sanksi pelanggaran netralitas, 256 orang diantaranya telah ditindaklanjuti oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) masing – masing.

Dengan sederet fakta yang menyeruak, tentu tidak berlebihan jika kita bertanya penyebab ketidaknetralan birkrat dalam gelaran kontestasi seperti sekarang ini.

Jawabannya tentu cukup kompleks, namun kita bisa saja mengidentifikasikan beberapa penyebab yang seringkali menjadi ujung dari semua hal tersebut.

Pertama adalah keterpaksaan, kondisi ini biasa terjadi pada suatu daerah yang salah satu calon kepala daerahnya adalah calon petahana (incumbent). Dalam banyak kasus calon petahana memanfaatkan “kekuasaan” yang dimiliki dengan memobilisasi PNS untuk mendukung atau menggalang masa agar memilihnya.

Kedua terkait jabatan atau kepentingan, selain berwenang melakukan mutasi, kepala daerah juga memiliki kewenangan untuk melakukan promosi jabatan. Tidak menutup kemungkinan seorang PNS yang dinilai memiliki kontribusi dalam terpilihnya seorang kepala daerah akan diganjar dengan suatu jabatan yang bergengsi.

Selain itu, sikap PNS yang tidak netral juga dapat disebabkan karena PNS yang bersangkutan memiliki kepentingan dengan kepala daerah terpilih, dengan bersikap mendukung dan dianggap sebagai “loyalis” oleh kepala daerah, bukan tidak mungkin seorang PNS akan memiliki hubungan kedekatan dengan kepala daerah terpilih sehingga memiliki kesempatan untuk memenuhi kepentingan yang ia miliki.

Yang terakhir adalah kedekatan, sebab ini lebih karena seorang PNS memiliki hubungan keluarga dan kedekatan dengan calon kepala daerah, sehingga “merasa” memiliki beban moral untuk mendukung dan memenangkan calon kepala daerah tertentu.

Terkait netralitas ASN, kita memiliki UU Nomor 5/2014 tentang ASN yang menyebutkan netralitas dimaksudkan bahwa PNS tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Dengan demikian, meski hak suara sebagai pemilih tidak dicabut, tetapi perlu diatur agar PNS tidak melanggar asas netralitas dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.

Mungkin bagi beberapa orang yang menyengaja memahaminya secara dangkal, tentu hal tersebut akan sedikit terdengar abu-abu. Memang hak suara tidak dicabut, tapi kan tetap harus tau porsi to? Masa iya seorang birokrat tidak dapat memahami hal semacam itu? Sampean kan orang joss Pak !!

Previous post Suka Duka Tim Pemakaman Standar Protokol Covid-19
Next post Pembahasan Upah Minimum Kabupaten Pati telah Dilayangkan Kepada Pemprov

Tinggalkan Balasan

Social profiles