Pasang Surut Romantisme Buruh dan Penguasa dari Masa ke Masa

PASANG surut romantisme industrial antara buruh, pengusaha dan pemerintah nampaknya seperti sebuah drama panjang dengan episode tak berkesudahan. Masing-masing pihak membawa klaim kebenaran, informasi simpang-siur bak bola liar yang menggelinding seenaknya tak tentu arah.

Bola liar tersebut kini bernama UU Cipta kerja yang kelahirannya dikritisi berbagai pihak sebagai sebuah produk hukum prematur dan cacat di sana-sini. Sebenarnya konflik perburuhan sudah berlangsung sejak beratus tahun silam, dan induk permasalahannya selalu itu-itu saja. Terdengar sangat klasik, yakni para buruh yang diperlakukan semena-mena.

Kita mulai dari nama Karl Marx, seorang filsuf asal Jerman (1881-1883) dikenal sebagai salah satu tokoh pemikir terbesar di dunia yang banyak mengkritisi perlakukanĀ  yang dilakukan kaum kapitalis.

Buruh disebut sebagai kalangan bawah, sementara pengusaha disebut sebagai kalangan atas. Penyebutan tersebut berdasarkan posisi kekuasaan atas alat dan proses produksi. Pertentangan buruh melawan pemodal adalah drama yang tak pernah usai. Paradigma upah, nilai lebih produksi dan seterusnya dibuat serumit-rumitnya hingga sulit dipahami oleh kalangan buruh.

Pada praktik umumnya, pemilik modal akan lebih bersifat konservatif, sementara kaum buruh akan terus cenderung bersifat revolusioner. Menurut Marx negara adalah alat kekuasaan kelas penguasa, dimana dalam perspektif ini kelas buruh sering menjadi korban kebijakan negara yang umumnya ditentukan atas pengaruh kelas atas.

Pada jaman ini negara menjadi sebagai sebuah ideologi yang menanamkan kesadaran palsu. Ini gambaran dan sejarah tentang pergolakan buruh di masa itu.

Kembali ke masalah UU Cipta Kerja, Penolakan besar-besaran UU Cipta Kerja oleh berbagai pihak terutama pekerja, merupakan noise dari sebuah rantai besar persoalan komunikasi yang diwalnya mungkinĀ  tidak di desain dengan baik.

Selain UU Cipta Kerja, ada pula gejolak menentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang baru dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditolak habis-habisan oleh masyarakat.

Keuda UU tersebut dianggap hanya menguntungkan kelompok elite saja. Kini masalah yang sama terulang ketika Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disepakati Pemerintah dan DPR dan menuai unjuk rasa dari kaum pekerja dan mahasiswa.

Jika kita tarik lurus dari histori di masa lampau. Apa yang terjadi kepada bangsa kita ini sebenarnya merupakan fenomena copy-paste dengan apa yang terjadi sebelumnya di masa lalu. Bingkainya selalu sama, sebuah dualisme hitam dan putih ataupun baik dan buruk.

Seperti pada zaman nabi di masa lalu, ada Fir’aun versus Nabi Musa, kemudian Namrud versus Nabi Ibrahim. Semua peristiwanya terjadi dalam konteks yang sama – konflik Tauhid Uluhiyah. Contoh lain runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh akibat abainya pemilik perusahaan terhadap keselamatan buruh. Diyakini sebelum keruntuhan itu tidak terlepas dari persoalan komunikasi.

Jadi, dengan semua fenomena yang terjadi baru-baru ini, pelajaran apa yang bisa kita ambil dan kita simpulkan? Semua kembali ke individu masing-masing.

Previous post Komposisi Komoditas BPNT Perluasan Direncanakan Pakai Kacang Hijau
Next post Atap Ruang Kelas SD 02 Ngarus Runtuh

Tinggalkan Balasan

Social profiles