TERKAIT penegakan protokol kesehatan, sepertinya pemerintah pusat maupun daerah kini mulai jengah dengan hal tersebut. Hal ini terbukti dengan mencuatnya kasus kerumunan yang ditimbulkan oleh Habib Rizieq Shihab atau yang biasa disebut HRS beberapa waktu belakangan.
Mulai dari saat kepulangannya hingga pesta pernikahan anak Habib Rizieq Shihab yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Imbas yang ditimbulkan tentu cukup banyak, mulai dari pemanggilan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, hingga 80 jamaah HRS yang terkonfirmasi positif terpapar Covid-19.
Secara pribadi, saya sendiri sudah cukup muak dengan pembahasan penegakan protokol kesehatan di Indonesia. Dalam beberapa titik hal tersebut memang diberlakukan penegakannya, namun dalam kesempatan lain protokol kesehatan hanya terkesan sebuah istilah formalitas saja.
Bagaimana tidak? Jika kita tengok isu nasional, kita tentu juga mengerti tentang kerumunan yang ditimbulkan oleh Gibran sang anak presiden. Sama-sama menimbulkan kerumunan, tapi perlakuan yang dilakukan sangat berbeda jauh.
Antara HRS maupun Gibran, dalam hal ini sama salahnya. Meskipun konteksnya berbeda, nyatanya kerumunan yang dihasilkan sama saja. Sama-sama berpotensi menjadi sasaran empuk transmisi Covid-19.
Belum lagi jika kita membicarakan tentang Pilkada Serentak 2020 yang tetap kekeh dilaksanakan di tengah pandemi seperti ini. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah memang menjelaskan bahwa pilkada kali ini akan menyertakan protokol kesehatan yang ketat.
Namun seperti kita ketahui bahwa dalam setiap hal tentu akan ada kemungkinan-kemungkinan munculnya chaos dan berjalan tidak sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.
Mengenai penegakan protokol kesehatan yang terkesan loyo dan tidak serius, tentu bukan hanya terjadi di level nasional saja. Di daerah seperti Kabupaten Pati pun juga sama saja gilanya.
Sebut saja jam malam yang diberlakukan beberapa waktu yang lalu. Dalam surat edaran pemberlakuan jam malam saat itu disebutkan dengan jelas bahwa semua warga Pati kecuali tenaga medis, petugas keamanan, pekerja SPBU, apotek, fasilitas kesehatan, hotel, karyawan/karyawati yang pulang atau berangkat bekerja dilarang untuk beraktivitas di malam hari.
Namun seperti kita ketahui bahwa pada kenyataannya jam malam tersebut memang terasa tidak efektif sama sekali. Bahkan beberapa pihak menganggap bahwa pemberlakuan jam malam tersebut hanya formalitas saja. Intinya tidak ada yang berbeda !
Bukan hanya itu, gerakan wajib masker di Kabupaten Pati pun tentu tidak kalah lucu. Awalnya pemerintah daerah menggembar-gemborkan gerakan wajib masker, bahkan dalam kesempatan tersebut disebutkan bahwa ada sejumlah denda jika ada seseorang yang kedapatan tidak memakai masker.
Namun bagaimana nyatanya? Tengok saja bagaimana pengunjung di Alun-alun Pati. Jangankan di desa, ditengah kota seperti Alun-alun saja banyak sekali pelanggar yang bersliweran tanpa masker dengan seenaknya.
Jam malam dan gerakan wajib masker tentu bukan satu-satunya hal lucu yang terjadi dalam perjalanan penegakan protokol kesehatan. Ada banyak sekali hal yang lucu dan miris sebenarnya, namun yang cukup mencolok bagi saya adalah terkait pesta pernikahan.
Saya masih ingat betul bagaimana rasanya mendatangi pernikahan sahabat saya saat awal masa pandemi kala itu. Saat itu pernikahan memang dikawal ketat oleh aparat, banyak pembatasan saat itu. Tidak seperti sekarang, resepsi yang mendatangkan ratusan orang untuk berkumpul tanpa protokol kesehatan bukan hal asing lagi sekarang.
Ahh mungkin pemerintah memang sudah lelah, atau mungkin semua orang salah mengartikan istilah “New Normal” yang didengungkan Presiden Jokowi kala itu. Padahal kalau bolah saya menyebut, ini bukanlah new normal, tapi justru new abnormal.