BAGAI memancing di air yang keruh, itulah nampaknya ungkapan yang cocok dengan kondisi Indonesia saat ini. Disaat semua pihak berjibaku dengan urusan dampak pandemi Covid-19, dengan rakusnya pejabat negeri ini justru mengkorupsi dan memanfaatkan situasi yang sedang kalut seperti ini.
Ialah Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kelautan dan Perikanan yang beberapa lalu ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua-duanya sama teganya, yang satu terkait benih lobster, yang satunya lagi tersandung korupsi dana bansos untuk warga miskin terdampak Covid-19.
Sungguh tak punya hati, sebagai pejabat negara mereka sudah seharusnya fokus terhadap penanganan pandemi beserta dampak yang ditimbulkannya. Bukan malah justru memperkaya diri dengan memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang berduka.
Korupsi memang seolah sudah mengakar dan membudaya di negeri kita tercinta. Mulai dari pejabat pusat sampai pejabat bawah yang di desa-desa. Walaupun sudah banyak yang tertangkap ditangan KPK. Tapi, tidak membuat para pejabat jera. Korupsi semakin merajalela.
Inilah buah dari sistem demokrasi yang kita bela selama ini. Sebuah sistem dengan biaya yang tak hanya berjuta-juta. Untuk mencapai kursi kekuasaan, diperlukan ongkos politik yang luar biasa besar yang pada akhirnya semakin mempersubur budaya korupsi di negeri ini.
Terlebih hukuman bagi para tikus berdasi di negeri ini seringkali tidak memberatkan dan seolah penuh keringanan beserta berbagai fasilitasnya.
KPK sebelumnya mencatat setidaknya ada 20 terpidana kasus korupsi yang hukumannya disunat oleh MA di bulan Oktober lalu. Obral pemotongan hukuman tersebut dapat mengurangi efek jera sehingga menyuburkan praktik korupsi di negeri ini.
Dari sini sudah terlihat jelas, bahwa bukan hanya masing-masing individu saja yang melanggengkan budaya kotor tersebut. Tetapi sistem sekuler di neger ini juga tutur memperkuat akar budaya korupsi yang mencekik masyarakat kita selama ini.
Cukup klise sebenarnya jika kita harus mencemooh demokrasi dalam masifnya tindak korupsi di negeri ini. Sebab cacat bawaan sistem ini sebenarnya sudah jelas dan terdeteksi, realitas masyarakat yang terfragmentasi dalam kaya-miskin, pandai-bodoh, kuat-lemah, menjadi pangkal kelemahan demokrasi.
Karena jelas seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Plato bahwa demokrasi menjadi alat kaum tiran yang kaya, pintar dan kuat, untuk memobilisasi massa yang miskin, bodoh, dan lemah.
Dari zaman ke zaman, realitas masyarakat itu tidak banyak berubah. Kalaupun ada perubahan dalam peningkatan jumlah masyarakat terdidik, persentase masyarakat yang sadar politik dan yang tidak, jumlahnya kurang lebih sama dengan fragmentasi yang dihadapi Plato dulu.
Yahh logikanya jangan terlalu berharap banyak dengan kondisi seperti ini. Mudahnya, kita lihat saja aksi akrobatik para pemimpin di negeri ini seperti layaknya menonton sebuah pertunjukan. Tonton, nikmati, kalau jelek cemooh sesukamu saja !! Hahaha