SEPERTI kita ketahui bahwa program vaksinasi nasional telah dimulai yang ditandai dengan penyuntikan vaksin kepada Presiden Jokowi Rabu, (13/1/2021) lalu yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden RI yang disaksikan oleh jutaan warga Indonesia.
Pro dan kontra pun mengiringi vaksinasi tersebut. Mulai dari beberapa pihak yang menyangsikan vaksin yang disuntikkan kepada Jokowi adalah asli, hingga ramainya netizen yang menghujat Raffi Ahmad yang berpesta setelah divaksin.
Meskipun disini kita tidak akan membahas pro kontra tersebut. Sebab sejatinya ada hal yang lebih prinsip untuk kita pahami bersama, yakni mengenai proporsi vaksin dalam upaya penanganan Covid-19 di Indonesia.
Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa glorifikasi akan kehadiran vaksin sebagai juru selamat di tengah gonjang-ganjing pandemi Covid-19 sebenarnya cukup membahayakan pemahaman masyarakat yang telah dibuat bingung satu tahun terakhir ini.
Bagaimana tidak? Di berbagai media, ribuan narasi hanya berisi seputar efikasi vaksin itu sendiri, tak ada yang benar-benar getol memberi pemahaman mengenai proporsi vaksin itu sendiri dalam penanganan Covid-19.
Dalam hal ini kita tentu sangat perlu memahami bahwa vaksin tersebut hanyalah sebuah bentuk parsial yang bisa mendukung upaya tersebut, bukan malah dianggap sebagai juru selamat. Jika kita analogikan, untuk berkendara kita memang membutuhkan bahan bakar, meskipun begitu kita tentu tidak bisa berkendara dengan bahan bakar saja. Di sisi lain kita tentu membutuhkan kendaraan itu sendiri.
Begitu juga dengan keberadaan vaksin, tentu vaksinasi akan menjadi hal yang sia-sia ketika kita abai terhadap protokol kesehatan. Sebab keduanya memang harus berjalan beriringan tanpa mengabaikan salah satu.
Bahkan Ketua BPOM Penny K Lukito pun menjelaskan bahwa aktanya vaksin tak melindungi seseorang sepenuhnya dari virus. Seperti vaksin Sinovac, berdasarkan hasil uji klinis sendiri mengatakan bahwa hanya mampu menurunkan kejadian penyakit Covid-19 hingga 65,3 persen. Artinya masih ada kemungkinan 30 sekian persen seseorang masih tertular setelah divaksin.
Sementara itu Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono juga mengatakan bahwa sebenarnya semua upaya pencegahan pasti memiliki celah. Oleh karenanya semua cara tersebut semestinya terus diupayakan. Dalam konteks ini, vaksinasi harus dilapisi dengan tes massal, penelusuran kontak, isolasi, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
“Vaksin itu hanya membantu mengatasinya, bukan berarti vaksinasi adalah senjata pamungkas dan semuanya boleh ditinggalkan. Enggak bisa. Semua upaya itu tetap dilakukan dan diperkuat sampai nanti pandemi terkendali,” kata Pandu.
Dengan berbagai pemahaman tersebut, tentu glorifikasi terhadap kehadiran vaksin itu sendiri rasanya memang cukup membahayakan jika tidak ditunjang oleh arus informasi yang jelas mengenai proporsinya sendiri. Hal ini tentu menjadi PR bagi pemerintah untuk lebih getol mensosialisasikan hal tersebut kepada seluruh masyarakat. Jangan sampai kehadiran vaksin justru seolah diartikan sebagai juru selamat bagi kegilaan yang tak berujung ini.