DUNIA memang begitu dinamis, dalam berbagai hal ia seolah berlari kencang dengan membawa segala perubahan dalam segala aspek. Baik itu budaya, politik, bahkan pola pikir yang mengiringinya. Dewasa ini kita tentu seringkali melihat perdebatan di berbagai level mulai dari bawah hingga elit yang seringkali mempermasalahkan proporsi nasionalisme dan agama.
Bahkan tak jarang kita temui diberbagai platform media sosial, seseorang seringkali meneriaki siapapun yang terkesan konservatif dalam urusan agama sebagai seorang yang tidak “open mind” bahkan belakangan seringkali mereka dicap sebagai seorang kadrun yang mendukung radikalisme.
Padahal jika telisik lebih jauh, munculnya berbagai stereotip tersebut tak lebih dari sekedar perang politik dimana ada dua kubu yang sedang berlawanan dan membawa bendera identitas yang begitu bias.
Dalam hal ini, kita tentu perlu memahami kembali bagaimana beragama telah dijamin oleh konstitusi melalui berbagai dasar hukum yang telah ada.
Dengan munculnya berbagai fenomena nasionalisme versus agama yang belakangan seringkali digoreng sebagai sebuah alat politik, saya justru kembali teringat bagaimana dulu masyarakat harus berjuang untuk mendapatkan haknya dalam konteks beragama.
Seperti diketahui bahwa hingga 1970-an, jilbab maupun pakaian muslimah yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan belum populer di Indonesia. Kebanyakan perempuan mengenakan kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke pundak, dengan leher masih terlihat.
Jilbab baru mulai dikenal pada 1980-an. Hal itu bermula dari pengaruh Revolusi Iran, 1979. Penyebarluasan berita kemenangan Ayatollah Khomeini yang berhasil mendirikan Republik Islam Iran mendorong rasa solidaritas dunia Islam, termasuk Indonesia.
Kemudian muncul pula gerakan lautan jilbab oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang muncul pada medio tahun 80-an. Hal tersebut dimulai dengan dipentaskannya naskah Lautan Jilbab di penjuru kota di Indonesia, khususnya di Jawa, kala itu turut mewacanakan pemakaian pakaian penutup aurat bagi muslimah.
Hal ini bukan berarti Cak Nun merupakan pencetus pertama jilbab, melainkan berkat gerakannya itu, muslimah menjadi berani mengekspresikan kemuslimahannya di tengah arus deradikalisasi simbol Islam regim Soeharto tahun 80-an.
Kita tahu, Soeharto pernah mengalami konversi simbolik dari “Islam-Jawa” ke “Jawa-Islam”. Frasa tersebut memproyeksikan atmosfer politik nasional Soeharto yang semula anti Islam pada tahun 80-an kemudian tahun 90-an menjadi mendekat ke Islam.
Lalu apa hubungannya dengan kondisi Indonesia saat ini? Jawabannya sederhana, dalam hal ini semua bermuara pada bagaimana seseorang mulai digiring oleh pemerintah yang seolah memunculkan berbagai stereotip yang mengarah pada alergi simbol-simbol agama Islam.
Pada tahun 1987, Mendikbud Daoed Joesoef pernah meneken Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 mengenai Seragam Sekolah Nasional yang berisi larangan pemakaian jilbab bagi kalangan muslimah di sekolah formal. Sebelum surat itu dilayangkan, di tahun-tahun sebelumnya, pemerintah Soeharto juga pernah mencurigai gerakan politik Islam yang dianggap akan merongrong Pancasila.
Hal tersebut tentu cukup relevan dengan berbagai fenomena yang belakangan muncul di permukaan. Beberapa pihak seolah memposisikan Islam sebagai sebuah ancaman yang cukup masif bagi keutuhan bangsa dan negara.
Masyarakat khususnya generasi muda seharusnya berkaca dengan masa lampau. Jangan sampai kepentingan politik para elit justru menjalar pada perampasan hak-hak masyarakat yang semakin represif seperti sekarang ini.