Ketika Demokrasi, Hukum dan HAM Justru Diintervensi

MENURUT gagasan Aristoteles yang dimuat oleh Plato dalam buku berjudul “Politics”, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Dalam hal ini ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi.

Yang pertama adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan umum, kemudian selanjutnya adalah pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi.

Dan yang terakhir adalah pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan yang dilaksanakan secara despotis.

Mengacu pada gagasan Aristoteles tersebut berarti negara seharusnya menggunakan hukum dengan seadil-adilnya dan berdasar pada kehendak rakyat, bukan justru menjadi alat rezim untuk memangkas dan mematikan pihak oposisi yang menurutnya mengganggu jalannya kekuasaan rezim tersebut dengan menanggalkan hukum, HAM, maupun demokrasi.

Selain itu, jika ditanya siapa yang paling berpotensi melakukan pelanggaran itu semua, tentu aparat penegak hukum lah yang paling berpotensi melakukan hal tersebut. Bagaimana tidak? Dari laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pada 2019 hingga 2020 saja ada 921 kasus dengan 669 orang mengalami luka-luka dan 3 orang tewas akibat kekerasan dan HAM yang dilakukan oleh pihak penagak hukum dalam hal ini kepolisian.

Selain itu, tentu belum kering dari ingatan kita mengenai kematian enam anggota FPI pada kejadian 7 Desember 2020 lalu yang tentu menambah rentetan kisah kelam pelanggaran HAM di negeri ini.

Sebagaimana Hasil investigasi Komnas HAM pada Jumat 8 Januari kemarin, dalam konferensi persnya pihaknya menyebutkan bahwa empat dari enam anggota FPI yang meninggal merupakan kasus pelanggaran HAM, sedangkan dua diantaranya meninggal akibat baku tembak dengan anggota kepolisian, dimana komnas HAM juga merekomendasikan agar kasus ini dibawah ke pangadilan dan juga merekomendasikan agar Polisi segara melacak kepemilikan senjata api.

Meskipun begitu,  tidak bisa dipungkiri bahwa kasus ini tidak hanya murni pelanggaran HAM, tetapi juga implikasi dari polemik politik di negeri ini, dimana pada beberapa tahun terakhir ini pemimpin FPI yakni Habib Riziq Syihab yang dikenal seorang tokoh agama yang begitu keras menentang kebijakan negara lewat berbagai narasinya.

Melihat deretan kejadian tersebut, tentu kita akan sangat mudah mengatakan bahwa demokrasi sudah semakin redup di negeri ini. Bagaimana tidak? Dalam hal ini dengan jelas ada pihak yang memanfaatkan instrumen negara untuk kepentingan politik.

Penegak hukum yang harus berdiri diluar jalur politik telah didorong oleh rezim sebagai tameng kekuasaan, lantasan siapa yang harus bertanggungjawab? dan siapa yang harus mengoreksi diri? Dalam hal ini semua pihak harus mampu menyadari bahwa ada hal-hal yang lebih urgen di negeri ini, bagaiman mungkin sebuah bangsa bisa maju jika internalnya saja terseok-seok.

Saat ini negeri China telah membuat mataharinya sendiri, bagaimana dengan kita? Masih sibuk saling menyalahkan dan menjatuhkan bukan?

Previous post Untuk Sementara Tidak Ada Sebutan ”Pasar Sore” Rogowangsan
Next post Hari Pertama PPKM, Satpol PP Sanksi Lima Pelanggar

Tinggalkan Balasan

Social profiles