PIYE iki critane, kok iso wong luar dadi bupati. Opo wes entek, stok pemimpin dalam negeri? Mosok, pemimpin kok yo impor sisan. Wes lah, cukup dageng sapi wae seng impor.
Riuh ruang baku hantam di media sosial mendadak ramai kembali setelah munculnya pemberitaan mengenai terpilihnya Bupati Kabupaten Sabu Raijua, Orient Patriot Riwu Kore. Bukan masalah menang gugatan hasil pilkada. Juga bukan kerena terpapar covid-19 akibat pemilu dalam masa pandemi. Melainkan, bupati terpilih merupakan WNA. Amerika Serikat asalnya. Jauh kan ya ?
Sederhananya orang cerdas dari Indonesia kan banyak, lulusan dari luar negeri pun kini sudah berjajar dari sabang sampai meauke. Apalagi urusan pemimpin? Mulai dari pemimpin politik, pemimpin perusahaan, pemimpin ormas keagamaan hingga pemimpin jadi-jadian pun berceceran di negeri ini. Lantas mau cari yang model bagaimana lagi?
Kemudian bagaimana jika ada WNA yang ingin menjadi pemimpin di Indonesia? Apa tidak boleh? Sebenarnya seorang warga asing sah-sah saja menjadi pemimpin di Indonesia. Pemimpin pabrik misalnya, karena memang pabriknya kan banyak di Indonesia seperti pabrik sawit atau nikel barangkali.
Bahkan sebenarnya, WNA pun bisa memimpin dan menjadi pejabat di Indonesia. Dengan syarat masyarakat Indonesia harus setuju. Masalahnya, hukum dan masyarakat tidak pernah setuju akan hal tersebut. Yang jelas ada aturan mainnya.
Sebab menjadi pejabat dalam pemerintahan syaratnya haruslah warga Indonesia. Lantas bagaimana dengan WNA yang siap sedia melepas kewarganegaraannya? Apakah akan diterima dan bisa bergabung dengan pemerintahan? Tidak semudah itu ferguso, ini masalah berbangsa dan bertanah air. Bukan hanya masalah sepele seperti belanja kangkung atau sayur-mayur lain yang ada di pasar.
Secara administratif, hal ini diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020 disebutkan bahwa syarat utama menjadi kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota adalah warga negara Indonesia (WNI).
Selain hal administratif tersebut, tentu ada hal yang lebih vital dari hal tersebut. Yakni dari perspektif budaya dan kebiasaan warga negara Indonesia. Jangankan WNA jadi pemimpin? Bahkan di Indonesia sendiri masih banyak masyarakat yang meyakini berbagai keyakinan yang begitu tumbuh subur mengenai siapa yang pantas menjadi sosok pemimpin.
Seperti beberapa orang yang meyakini bahwa orang luar jawa tidak bisa menjadi presiden atau kepercayaan turun menurun yang lainnya. Sampai-sampai, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kala saja pernah menyebut bahwa mungkin 100 tahun orang luar Jawa untuk bisa menjadi presiden.
Lha ini kok ya ada WNA yang tiba-tiba nyelonong mau jadi pemimpin di Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa warga Indonesia itu harga dirinya tinggi. Seperti unen-unen Jawa yang menyebut “Luwih apik mati dari pada wirang”