BELUM juga kering bahasan polemik mengenai UU ITE dan Polisi Virtual yang dianggap membuat publik semakin takut mengutarakan pendapat di ruang media social, kini Bareskrim Polri justru kembali mewacanakan pemberian lencana “Bedge Award” kepada masyarakat yang aktif melaporkan tindak pidana dalam ruang media sosial.
Kegilaan apa lagi ini? Apa pemerintah masih belum puas dengan dampak negatif yang ditimbulkan UU ITE dan Polisi Virtual yang sebenarnya hingga kini masih juga belum usai perdebatannya?
Menanggapi wacana pemberian “Badge Award” Amnesty Internasional Indonesia menilai hal ini justru berpotensi membuat warga semakin takut untuk mengungkapkan pendapat kritis. Apalagi Revisi UU ITE belum masuk prioritas anggota Dewan.
Hal tersebut disampaikan Amnesty Internasional Indonesia melalui sebuah utas di laman Twitter, Selasa (16/3/2021) lalu.
“Jika pemberian ‘Badge Awards’ benar-benar dilaksanakan, ini berpotensi membuat warga semakin takut untuk mengungkapkan pendapat terutama jika pendapatnya kritis terhadap seorang pejabat,” ungkap Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.
Selain itu, kehadiran penghargaan semacam itu di tengah kondisi UU ITE dan Polisi Virtual yang belum sepenuhnya tuntas justru bisa memperburuk situasi dan polarisasi konflik di tengah masyarakat.
Tentu belum juga kering ingatan kita dengan penangkapan seorang warga asal Slawi, Tegal yang terpaksa harus mencicipi imbas dari munculnya Polisi Virtual.
Uniknya, meski terdaftar sebagai warga Tegal, dia justru disanksi oleh Polresta Surakarta, yang ‘kebetulan’ merupakan domisili serta wilayah kepemerintahan Mas Wali Kota Gibran Rakabuming Raka.
Ia terpaksa harus diamankan lantaran komentarnya di media sosial dianggap mengolok-olok mas Wali Kota tersebut.
Dalam kolom komentar, pria berinisial AM itu menulis: “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja,” yang dinilai mengandung unsur hoaks dan menghina anak orang nomor satu di Indonesia tersebut.
Hanya karena kata “dikasih jabatan” saja, AM terpaksa harus berurusan dengan Polisi Virtual yang namanya sedang naik daun itu. Berkaca dengan peristiwa tersebut, kita bisa memetik pelajaran bahwa begitu lebarnya bias sebuah kata yang mampu mengirim seseorang ke dalam jeruji pesakitan.
Menurut pihak kepolisian, fakta yang tepat ialah Gibran menjadi Wali Kota oleh karena menang Pemilu, bukan lantaran hasil pemberian dari bapaknya yang seorang presiden.
Padahal jika kita mau berpandangan lebih luas, kata “dikasih jabatan” kan juga bisa kita tarik arti bahwa jabatan tersebut dating dari pemerian Tuhan. Ya begitulah, namun apesnya mungkin mereka lebih berhasrat memberi shock therapy dari pada memberikan edukasi.
Nah, jika kasus salah satu warga Tegal tersebut saja sudah bisa memberikan perspektif betapa pongahnya pemerintah dengan menghadirkan Polisi Virtual, lha sekarang kok malah aneh-aneh mewacanakan adanya “Bedge Award”.
Kita semua tentu tahu bahwa UU ITE dan Polisi Virtual bisa kita jadikan sebagai bukti betapa tidak seriusnya pemerintah dan negara dalam melindungi kebebasan berpendat.
Dengan wacana “Bedge Award” kita tentu berhak untuk bertanya apakah pemerintah tidak puas menebar ketakutan akan berpendapat dengan medium UU ITE dan Polisi Virutal? Atau barangkali pemerintah memang berhasrat ingin mengadu masyarakat hingga membuat penghargaan semacam itu?