Beberapa hari ini, tepatnya tanggal 28 Maret terjadi penyerangan bom bunuh diri oleh sepasang suami istri ke Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Bahwa keduanya disebut oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) masuk dalam kategori generasi milenial karena lahir pada pertengahan tahun 90-an.
Keduanya, lantaran melakukan serangan bom bunuh diri itu sudah jelas menjadi ciri umum bahwa telah terperangkap di lingkaran jaringan terorisme. Sudah usang, penyerangan seperti ini diidentikkan dengan kaum jihadis.
Akan tetapi, kecenderungan bentuk teror melalui pencobaan meledakkan bom yang mengorbankan dirinya ini adalah suatu lazim diidentikkan perang melawan kezaliman. Di sini ada fanatisme buta yang menutupi mata dzahir, pikiran logis, juga nuraninya.
Terlebih, pelakunya masih terbilang muda, dimana usia pas asyiknya sedang menikmati masa nakal. Tetapi, jangan anggap nakal negatif, bersifat positif. Eh misalnya cari pengalaman kerja, cari duit atau sebatas petenteng bawa gitar ngalor-ngidul.
Dari situ, selanjutnya timbul dalam benak pribadi saya “Mengapa Masih Muda Berpikiran Cekak”. Padahal rata-rata seseorang tekun ngibadah, menggeluti ritus-ritus yang sifatnya transendental adalah ketika sudah masuk usia senja.
Tapi bukan gitu juga sih, paling tidak fanatik itu boleh, keras boleh, tetapi itu skupnya untuk teguran diri agar lebih maksimal nyanding “Sang Kekasih Sejati”. Justru jangan sebaliknya. Terlebih, kekerasan tidak dibenarkan dalam agama manapun.
Asumsinya, kenapa mereka mau melakukan kelakuan keji itu, apakah diiming-iming bahenolnya bidadari, mati syahid, mati masuk surga? Sungguh konyol jika iya, toh bisa melihat Sang Kekasih Sejati katanya adalah anugerah terindah.
Dengan kata lain, asumsi pribadi saya lagi sungguh berpikiran terlalu selakangan banget, otak mesum jika hanya diiming-iming bidadari kok mau mati dengan cara meledakan bom.