BAGAIMANAPUN juga bangsa Indonesia mau tidak mau memang harus mencari sosok algojo baru yang ditakuti oleh koruptor. Sebab wafatnya Artidjo Alkostar belum lama ini tentu tidak boleh menjadi kabar bahagia begitu saja bagi para maling kelas atas di Indonesia.
Rasanya memang tidak berlebihan jika dalam beberapa hari terakhir nama Artidjo Alkostar berhasil menghiasi berbagai linimasa pemberitaan di media. Sebab, Artidjo Alkostar yang dijuluki algojo tersebut memanglah sosok yang langka dan begitu berdedikasi dengan profesinya.
Banyak tersebar informasi yang menggambarkan betapa kuatnya integritas Artidjo, sehingga beliau tak mempan digoda dengan uang atau harta. Padahal, hidupnya sangat sederhana untuk seorang yang pernah punya jabatan tinggi.
Sewaktu berkarier sebagai pengacara di Yogyakarta, hingga akhir 1990-an, Artidjo berkantor di bangunan semi permanen berdinding gedek di pinggiran Yogyakarta. Citra bahwa seorang pengacara tarifnya mahal dan hidup mewah, dipatahkan oleh Artidjo yang tak pernah merundingkan biaya jasa kepada kliennya.
Sikap tidak mau meminta tersebut diterapkan secara konsisten ketika Artidjo menjadi Hakim Agung pada tahun 2000. Awalnya, beliau tinggal di rumah kontrakan di sebuah gang sempit di kawasan Kwitang, karena tidak mau meminta haknya mendapat fasilitas rumah dari negara.
Menurut Mahfud MD, Menteri Koordinador bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), julukan algojo yang disematkan pada sosok Artidjo Alkostar tersebut karena semasa ia menjadi hakim, Artidjo tidak peduli peta kekuatan dan dukungan politik para koruptor.
Bahkan Artidjo berani memberikan hukuman lebih berat pada sidang kasasi yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Contohnya, Angelina Sondakh yang sebelumnya mendapat vonis 4,5 tahun penjara, tapi dalam sidang kasasi yang dipimpin Artidjo, vonisnya menjadi 12 tahun.
Hal ini berlaku juga dengan Anas Urbaningrum, dari vonis 8 tahun menjadi 14 tahun. Dan yang paling berat adalah vonis terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, yang mendapat hukuman seumur hidup.
Itulah Artidjo, sosok hakim yang begitu terkenal kerap memberikan bonus masa tahanan bagi para koruptor yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dengan tujuan meringankan hukuman. Meskipun ia telah meninggal 28 Februari 2021 lalu, tapi warisan yang ia tinggalkan selama ia menjadi advokat dan 18 tahun di Mahkamah Agung tentu akan menjadi sebuah warisan dan catatan tersendiri bagi perjalanan demokrasi di negeri ini.
Selamat jalan Artidjo berkantor, semoga saja negeri ini lekas mendapatkan sosok pengganti untuk meneruskan apa yang telah engkau mulai sejak dulu.