Barangkali Demokrasi Hanyalah Ungkapan Utopis

PANDEMI covid-19 akhir-akhir ini begitu membuat kampus bringas terhadap suara-suara kritis. Hal ini setidaknya terlihat dengan munculnya tren kampus melaporkan mahasiswanya karena protes Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Seperti yang terjadi akhir Februari lalu, tiga mahasiswa Universitas Bandar Lampung (UBL), harus berurusan dengan polisi lantaran dilaporkan oleh kampusnya sendiri karena protes Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Tiga mahasiswa itu adalah Sultan Ali Sabana, Rizky Aditya, dan Reyno Pahlevi. Mereka terpaksa berhadapan dengan polisi karena dilaporkan kampusnya sendiri usai melakukan unjuk rasa menuntut keringanan UKT pada 25 Februari 2021. Kampus melaporkan ketiganya atas dugaan pelanggaran UU Karantina Kesehatan No. 6 Tahun 2018.

Sungguh ironis, ketika lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menempa nilai-nilai dan budi luhur kini justru menjadi sebuah instrumen percontohan ganas nan beringasnya birokrasi.

Lokataru Foundation menyebutkan pada masa pandemi ini banyak kampus yang melaporkan mahasiswanya sendiri ke polisi. Menurut mereka tindakan kampus ini adalah salah satu bentuk pembungkaman yang marak terjadi di situasi pandemi.

Asisten peneliti Lokataru Foundation, Kirana Anjani menjelaskan bahwa hal yang dilakukan oleh pihak kampus UBL sangat mirip dengan modus pembungkaman yang digunakan oleh pemerintah. Segala bentuk kritik yang mencoreng negara dapat dibubarkan dan bahkan diproses secara pidana dengan alasan pandemi COVID-19.

Apa yang disampaikan oleh Kirana Anjani jelas ada benarnya, jika kita menoleh ke beberapa peristiwa di Indonesia, pola semacam ini memang kerap kali digunakan oleh elit politik untuk membubarkan segala bentuk aksi yang disertai dengan suara-suara kritis masyarakat.

Sikap kampus seperti ini juga bukan terjadi di UBL saja, coba tengok saja peristiwa yang terjadi di Universitas Lancang Kuning. Tiga mahasiswa kampus tersebut dikeluarkan karena melakukan protes kepada kebijakan kampus. Mahasiswa menuntut kepada pihak kampus terkait pembuangan skripsi dan penebangan pohon.

Namun, bukannya didengar, tiga mahasiswa malah berakhir dikeluarkan karena dianggap melanggar peraturan mahasiswa. Jika tindakan-tindakan serupa dibiarkan maka akan kian banyak mahasiswa terdepak dari kampus karena sikap kritis.

Jika institusi pendidikan seperti kampus saja sudah melanggengkan praktik represi semacam ini, lantas bagaimana dengan masa depan demokrasi kita? Dengan munculnya berbagai fenomena semacam ini, barangkali kita memang dipaksa untuk sadar bahwa demokrasi hanyalah sebuah bentuk utopis.

Previous post Dua Paket Pekerjaan DAK Peningkatan Ruas Jalan Sudah Penandatanganan Kontrak
Next post Tinggal Satu Pasar Daerah yang Belum Melaksanakan Pelatihan Petugas Pemadam Api

Tinggalkan Balasan

Social profiles