SEBAGAI tokoh agama dan kiai di Jaken dan sekitarnya, sudah semestinya menyikapi ancaman dari orang-orang Komunis, maka setiap malam para santri berjaga-jaga di sekitar kompleks pesantren dan masjid dari serangan kaum Komunis. Sedangkan Mbah Syamsul Hadi sendiri selalu berjaga di rumah, untuk melindungi keluarga dan memberikan pengajian pada santri-santri sampai larut malam.
Suatu malam setelah mengaji dan para santri sudah kembali di pondoknya masing-masing, datanglah delapan orang pemberontak komunis itu untuk memaksa Mbah Syamsul Hadi supaya mengikuti mereka untuk dihadapkan kepada pemimpinnya. Akan tetapi beliau sudah mengetahui, bahwa setiap penculikan terhadap tokoh agama atau tokoh masyarakat, di tengah jalan pasti dibunuh.
Sebab, mereka punya kebiasaan tidak mau membunuh sesorang di rumahnya, maka terjadilah dialog seru antara beliau dengan mereka. Akhirnya Mbah Syamsul Hadi mengalah, tapi dengan tawaran untuk mau ikut dibawa mereka syaratnya asal diangkat atau digendong oleh mereka, dan mereka pun menyatakan sanggup.
Manakala mereka satu per satu per satu mengangkat/menggendong beliau, ternyata tak seorang pun di antara mereka ada yang kuat. Bahkan mereka ada yang mengangkatnya 2, 3 orang, dan sampai delapan orang pun bersama-sama juga tidak sanggup, akhirnya mereka lari tunggang-langgang begitu mengetahui kelebihan Mbah Syamsul Hadi.
Hal tersebut disaksikan santri-santrinya yang malam itu kebetulan masih berada di dapur karena belum sempat keluar rumah, tapi sempat menintip dari lubang dinding dapur. Dalam peristiwa ini, putra beliau Mbah Tholhah dan santri beliau bernama Warjono diculik dan dibawa ke markas mereka, di Batangan.
Pada suatu malam Warjono dibantai hingga tewas di Rawa Legok Desa Sokoagung, Kecamatan Batangan, dan baru pagi harinya ditemukan penduduk kemudian diserahkan kepada keluarganya Mbah Tarsinah dan dimakamkan di makam Desa Batursari juga di Kecamatan Batangan. Tapi pagi hari itu juga datanglah pasukan Siliwangi dari Jawa Barat.
Pasukan tersebut melakukan pembersihan terhadap kaum pemberontak komunis, sehingga nyawa putra Mbah Syamsul Hadi, yakni Mbah Tholhah diselamatkan pasukan ini. Perang ke II ini berakhir dengan diselenggarakannya gencatan senjata dan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhag Belanda yang isinya antara lain pengakuan Belanda atas keberadaan Negara Republik Indonesia di wilayah bekas Hindia Belanda. (bersambung)