Kebijakan Impor Beras yang Kurang Bijak

ENTAH apa salah dan dosanya hingga akhirnya hujan seringkali dikambing hitamkan sebagai biang kerok atas berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia. Tentu masih lekat dalam ingatan kita tatkala awal tahun lalu hujan juga dituding oleh pemerintah sebagai penyebab dari terjadinya banjir yang melanda Kalimantan Selatan.

Kali ini juga sama, hujan kembali menjadi pihak tertuduh yang dianggap mengganggu proses panen sekaligus menjadi alasan impor 1 juta ton beras.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang menyebut bahwa hujan telah menyebabkan gabah petani menjadi basah sehingga tidak bisa dijual ke Bulog lantaran tidak memenuhi standar kadar air.

Keadaan diperburuk oleh minimnya ketersediaan alat pengering di tingkat petani. Akhirnya penyerapan gabah ke Bulog hanya mencapai 85 ribu ton di bawah perkiraan sebanyak 500 ribu ton.

Dalam klaimnya, ia mengatakan stok beras Bulog saat ini di bawah 500 ribu ton. Angka ini menurutnya merupakan “stok Bulog paling rendah dalam sejarah.” Jumlah itu didapat dari perkiraan stok beras per 2021 sebanyak 800 ribu ton dikurangi total beras turun mutu hasil impor 2018 yang tidak terpakai hingga hari ini. Total beras yang dianggap turun kualitasnya itu mencapai 270 ribu-300 ribu ton.

Meskipun Menteri Perdagangan mengklaim demikian, namun pernyataan tersebut dipatahkan dan dibantah oleh Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa.

Dalam keterangannya, ia mengatakan bahwa semua klaim yang mendasari kebijakan impor tersebut tidak pernah terjadi. Petani tidak mungkin membiarkan gabahnya dalam keadaan basah, katanya. Mereka akan proaktif mengeringkan gabahnya untuk mencapai standar.

“Mendag tidak paham. Memangnya ada yang biarkan? Logika dari mana? Petani pasti akan menyelamatkan hasil panennya dengan cara apa pun,” tegasnya.

Bahkan Dwi pun menjelaskan bahwa jaringan tani di bawah AB2TI berulang kali menghadapi fenomena gabah basah dan mampu mengeringkannya. AB2TI di Tuban, Jawa Timur, misalnya, sudah biasa mengeringkan gabah dengan cara dijemur. Dari proses itu saja kadar air yang semula di atas 25% bisa turun ke 15% yang mendekati standar beras mutu premium, medium 1, dan medium 2 yang berkisar kurang dari 14%.

Apapun alasan pemerintah yang mendasari kebijakan tersebut, yang jelas kebijakan kali terasa kurang begitu bijak. Lihat saja pro-kontra yang menyertai kebijakan Menteri Perdagangan kali ini. Nada protes pun dating dari berbagai kalangan dan menganggap kebijakan tersebut hanya akan merugikan petani lokal saja. Ya saran saja, kalau membuat kebijakan tolong yang bijak dong Pak !

Previous post Terkait PJJ, Kepala MAN 1 Pati: Ibarat Biasa Makan Nasi, Beralih Jagung
Next post Tiga Desa di Pati Ikuti Sosialisasi Lanjutan Pembentukan Puskesos

Tinggalkan Balasan

Social profiles