PERKEMBANGAN madrasah ini pasang surut, mengikuti keadaan darurat perang yang selalu menempatkan posisi Kolutan yang dicap sebagai sarang para pemberontak sebagaimana dipaparkan di depan. Adapun tokoh santri pada periode itu antara lain, Daerobi, Badar, Sofwan, Mahali, Munadi, Sarjono, Alwi, Karmain, Mukhtari, Maskun dll.
Sedangkan para ustadznya, yaitu Kiai Ah Thohir, Kiai Tolhah, Kiai Tholabi, Kiai Ridwan dan yang lainnya. Di Tahun 1950 atau setelah kembalinya Indonesia menjadi NKRI, maka pembenahan pendidikan dimulai lagi dengan membangun gedung madrasah tersendiri di utara pondok pesantren yang terdiri dari tiga lokal.
Pada periode ini, hari masuk disesuaikan dengan kesempatan belajar santri, yaitu malam hari jam 18.00 sampai 20.00. Menjelang Tahun 1955 sebagai masa persiapan Pemilu 1, situasi madrasah terganggu lagi karena para ustadz dan santri juga berjuang untuk memenangkan Pemilu ini, untuk partai Islam (Nu dan Masyumi), sehingga untuk sementara kegiatan terhenti.
Di akhir Tahun 1955, Madrasah Natijatul Islam diniyah digiatkan kembali dengan penataan siswa/santri yang lama dan masih ingin melanjutkan, sehingga terkumpullah sekitar 80 anak, Sesuai dengan prakiraan kemampuannya, mereka dibagi menjadi 3 kelas (kelas I, II dan kelas III).
Periode ini banyak santri dari sekitar Desa Sumberejo yang ikut bersekolah di sini, antara lain dari Desa Suberarum, Arumanis, dan Srikaton. Adapun pengasuhnya, adalah Kiai Abd Wahab, Kiai Daerobi, , Kiai Mansyur, Kiai Nawawi dll.
Karena sebagian besar dan siswa/santri sudah berumur dewasa, akhirnya setelah mereka kawin otomatis keluar dari madrasah, dan yang tertinggal adalah santri-santri kecil. Pada umumnya, pagi hari mereka maduk di Sekolah Rakyat (SR) di masing-masing desa sehingga akhirnya madrasah ini sekitar 1959 (menjelang wafat) Mbah Syamsul Hadi, kegiatannya berhenti. (bersambung)