Masuk Barisan NU (12)

SEJAK zaman Jepang semua partai/organisasi Islam dilebur menjadi satu, yaitu Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), termasuk di dalamnya NU, SI, Perti, Muhammadiyah dll. Setelah Kedaulatan Negara Kesatuan Rakyat Indonesia berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB) berbentuk menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang umurnya hanya satu tahun, maka pada 17 Agustus 1950 RIS dikembalikan lagi menjadi NKRI.

Karena itu, mulailah penataan tata pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Berkaitan hal tersebut maka partai yang semula dibungkam oleh penjajah mulai muncul dan berjuang untuk menempatkan wakil-wakilnya di pemerintahan sebanyak-banyaknya lewat pemilihan umum (Pemilu).

Namun waktu itu, partai-partai Islam yang semula bersatu dalam Masyumi, berpisah kembali sesuai dengan visi dan misi masing-masing sehingga muncullah kembali partai-partai NU, Masyumi, PSII, Perti dll. Sedangkan dari partai non-Islam muncul kembali PNI, PKI dll.

Sesuai jiwa dan khittahnya, maka Mbah Syamsul Hadi masuk dalam barisan NU terhitung sejak Tahun 1952. Sejak itu beliau berjuang untuk meninggikan kalimah Allah lewat NU ini sampai akhir hayatnya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa perjuangan beliau dalam bidang pendidikan, dimulai sejak pendirian langgar (mushala) di Dukuh Kolutan Desa Sumberejo Tahu  1911, dengan lewat pengajian ”sorogan” (face to face) maupun ”blandongan” (pengajian weton secara  klasikal). Ini adalah metode pendidikan khas ponpes pada masa itu,

Keadaan tersebut berlangsung hingga Tahun 1923, di mana beliau beserta para santri telah membangun masjid di atas tanah pada saat awal langgar berdiri yang dilengkapi dengan kamar untuk tidur para santri (pesantren). Dalam masa perjuangan kemerdekaan Tahun 1935 s/d 1942, keadaan pendidikan yang telah dirintis ini tidak banyak berubah.

Jika ada perubahan hanyalah pemisahan para santri syari’at dan santri thoriqoh yang sudah dimulai sejak beliau datang dari haji yang kedua, Tahun  1927 bersama. Sedangkan di Tahu n 1942, bersamaan masuknya penjajah Jepang, di mana ada kewajiban untuk bersekolah sekaligus untuk mencetak kader-kader militan yang tangguh, beliau mendirikan pondok dari bahan bambu untuk menginap para santri yang kemalaman.

Selain itu juga para santri yang rumahnya jauh, dan lokasinya tepat di depan masjid. Dengan adanya pondok tersebut, maka dirintislah sistem pendidikan yang lebih maju, dan diberi nama Madrasah Ibtida’iyah Natijatu Islam yang intinya menyajikan ilmu agama Islam saja. (bersambung)

Previous post E-Koran Samin News Edisi 20 Maret 2021
Next post Dasar Wibowo: Mengulang Tampil dalam Pilkades Enam Tahun Lalu

Tinggalkan Balasan

Social profiles