Mendirikan Shalat Jumat (6)

SELESAI mengurus tanah Tahun 1911 Mbah Syamsul Hadi dibantu sejumlah santri yang ada, mulai melaksanakan beberapa pembangunan. Adapun yang kali pertama dibangun tentu rumah tinggal, kemudian mushala (langgar) dan pondokan santri di atas tanah yang baru saja selesai diurus kepemilikannya.

Akan tetapi, pembangunan belum selesai harus menghadapi jalan buntu karena biaya yang digunakan tidak mencukupi. Sementara harta miliknya dari hasil usaha saat masih berada di Weduni berupa rumah cocok dan hasil pertanian, padi sebanyak 6 amet (1 amet=4 bawon: 1 bawon =35 ayar) tidak boleh diambil. Hanya karena sebetulnya bapak mertua tidak mengizinkan pindah dari Weduni ke Kolutan.

Hanya karena tekad atas dasar ilham Allah, beliau tetap pindah untuk memenuhi hasil shalat hajatnya. Dengan hasil pembangunan yang masih sangat sederhana, Mbah Syamsul Hadi mengadakan musyawarah dengan para kiai dan santri untuk mendirikan Shalat Jumat dibangunan mushala tersebut.

Hasil musyawarah pun menyetujui bahwa shalat jumat bisa dilaksanakan di Kolutan, sehingga Tahun 1911 shalat jumat mulai dilaksanakan di Kolutan. Sementara itu para santri lebih banyak lagi yang datang dari berbagai daerah, tapi gangguan dari para penjahat juga masih tetap ada, tapi dapat ditanggulangi oleh Mbah Syamsul Hadi dan para santrinya.

Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena sejak semula di Kolutan dan sekitarnya belum ada santri, apalagi orang-orang beribadah. Karena itu, tidak mengherankan jika gangguan dari orang yang tidak senang tentu tak bisa dihindari.

Semakin hari jumlah santri yang mondok kian bertambah, sehingga mencapai ratusan orang baik santri laki-laki maupun perempuan. Sehingga Mbah Syamsul Hadi harus mu;lai berpikir mencari upaya yang paling baik dalam mengatasi hal tersebut, agar para santri benar-benar mendapat ilmu yang maksimal saat atau selama mondok di Kolutan.

Karena itu, diangkatlah beberapa orang untuk membantu sekaligus menjadi wakilnya, dan juga untuk menjaga keamanan serta ketentraman pondok dan juga para santri dari gangguang orang-orang jahat. Adapun yang ditunjuk, yaitu Imam Karjin (adik), Imam Masduk (adik), Muhammad Masyhud (saudara ipar) dan Muhammad Sholeh (santri senior).

Keempat orang tersebut dalam melaksanakan tugas menjaga ketertiban dan keamanan pondok, dibantu oleh beberapa orang lainnya yang mempunyai tugas mengurusi segala urusan pondok setiap harinya. Mereka adalah Moh Dasuki, Moh Murtaji, Sarjo, Kasban, Moh Darmin, Tamsir, Said, Moh Tholabi, Moh Kimin, Tanuji, Bagir, dan Syukran, serta masih banyak lagi dari kalangan pemuda.

Kendati kesibukan mengelola pondok kian bertambah, tapi Mbah Syamsul Hadi masih menyempatkan menambah ilmu pengetahuan dengan mengaji setiap bulan Ramadhan antara lain ke pondok Jamsaren Solo. Saat itu hal tersebut ditempuh jalan kaki melalui lewat Purwodadi.

Kata shohubul hidayat pada saat melewati hutan di utara Purwodadi Mbah Syamsul Hadi pernah diadang oleh empat orang perampok. Seketika itu dengan pertolongan Allah SWT keempat perampok tersebut lari tunggang-langgang begitu melihat Mbah Syamsul Hadi seolah-olah menjadi harimau.

Selama nyantri di ponpes ini, para santri dipercayakan kepada para wakil empat orang tersebut, terutama pada Imam Karjin dan Imam Masduq. Perkembangan para santri yang pesat dimulai Tahun 1911 bersama dengan munculnya organisasi Syarikat Islam pada pertengahan Tahun 1912. (bersambung)

Previous post Kuatkan Langkah, PKS Blora Lantik Pengurus Kecamatan
Next post FRPB Kerja Bakti Perbaiki Rumah

Tinggalkan Balasan

Social profiles