SECARA nasional, Kudeta Partai Demokrat menjadi buah bibir dan trending topic di masyarakat. Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sumatra Utara oleh kelompok pengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat turut menambah daftar peristiwa yang membuat tensi politik begitu panas.
Lantas apakah tensi politik semacam ini memang terasa di mana-mana?
Sebagai masyarakat biasa yang bermukim di wilayah pedesaan, saya turut merasa bangga dengan bangsa Indonesia yang terus menerus menunjukkan kemajuannya dalam berbagai sektor dan aspek kehidupan.
Salah satu hal yang cukup begitu terasa penetrasinya bagi masyarakat desa seperti saya adalah dalam urusan perserbaran arus informasi dan teknologi yang begitu luar biasa menerobos berbagai sekat hampir di seluruh pelosok negeri.
Sederhananya masyarakat tentu merasa senang karena kini Jakarta telah kian dekat dengan seluruh pedesaan di pelosok Indonesia. Apa yang terjadi di Jakarta, dalam hitungan detik dan menit situasinya juga sudah diketahui dan didengar oleh masyarakat di berbagai pelosok negeri ini.
Informasi yang menerobos hingga ke kawasan pedesaan tentu ada yang konstruktif dan membanggakan, tetapi di sisi lain tentu ada pula yang bersifat destruktif, tidak menyenangkan bahkan mengecewakan.
Pada titik ini, masyarakat dengan pemikiran sederhana pun tentu dipaksa semakin cerdas dalam mencermati setiap informasi yang terjadi di negeri ini. Politik salah satunya.
Padahal di sisi lain, mereka yang bertengger di panggung politik Indonesia lebih berorientasi pada kepentingan diri, kelompok dan organisasi. Ramai berdebat dengan konsep konsep pembangunan yang hebat tetapi tidak pernah mendaratkan konsep pembangunan yang aplikatif solutif yang bisa dirasakan hingga pedesaan.
Ibarat kata, kita yang berada di pedesaan hanya diposisikan sebagai penonton yang harus duduk dan antusias dalam menyaksikan berbagai perhelatan dan hingar-bingar tensi politik yang semakin memanas saja.
Sungguh aneh rasanya ketika kita dipaksa berhadapkan dalam situasi yang mengharuskan menjadi penonton di tempat kita sendiri. Bagaimana tidak? Secara persentase berapa persen kawasan pedesaan yang ada di Indonesia? Lebih dari separuhnya bukan?
Dengan kata lain, Indonesia sejatinya adalah pedesaan itu sendiri. Namun lucunya, segala bentuk kebijakan dari pusat rasanya begitu jarang berpihak pada masayarakat di kawasan pedesaan. Apa iya kita harus menjadi penonton terus menerus di negeri kita sendiri?