MENJADI pejabat di Indonesia itu enak, bisa semau-maunya dan bisa sesuka-sukanya. Hal ini berlaku hampir di semua hal, termasuk dalam membungkam suara-suara kritis jurnalis.
Seperti yang menimpa salah satu wartawan Tempo beberapa waktu yang lalu. Ialah Nurhadi, seorang jurnalis yang terpaksa harus merasakan perbuatan keji pejabat di Indonesia.
Kala itu, ia ditugaskan untuk meminta konfirmasi kepada Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji yang kebetulan hari itu sedang menggelar acara pernikahan anaknya.
Angin sendiri merupakan tersangka kasus dugaan suap pajak. Setengah mati meminta konfirmasi sampai harus memanfaatkan momen hajatan tersebut, bukan informasi yang didapat, malah Nurhadi justru harus menerima sejumlah tindak kekerasan berupa tamparan, pukulan, piting bahkan ia juga sempat disekap.
Jika kita perhatikan dengan seksama, apa yang menimpa Nurhadi tentu bukan kali pertama di Indonesia. Selama ini jurnalis memang seringkali harus menerima tabiat buruk pajabat, aparat hingga massa. Hingga Januari lalu saja, LBH Pers telah mencatat terdapat 117 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Apa yang dialami oleh Nurhadi sudah jelas tindak pidana. Dalam hal ini, penegak hukum sudah seharusnya melakukan tindak lanjut atas perkara yang sedang terjadi.
Sebab, perkara penganiayaan terhadap jurnalis tentu tidak bisa dianggap sesepele itu. Pada satu titik, Nurhadi merupakan bagian dari hak untuk mendapatkan informasi yang terang atas sebuah kasus. Namun mengapa angina justru nampaknya lebih suka menampakkan tabiat buruk pejabat terhadap suara jurnalis yang kritis?
Tabiat buruk pejabat ini juga bukan melulu tentang kekerasan saja. Misalnya saja ketika protes dan demonstrasi UU Cipta Kerja digelar, kala itu pemerintah menuding draf yang UU yang beredar sebagai hoaks. Padahal pemerintah sendiri tidak bisa menjelaskan mana draf final karena masih ada di DPR.
Menuding hoaks tanpa menunjukkan bukti naskah asli tentu sama saja dengan tindak pembungkaman bukan?
Kemudian ketika banjir Kalimantan Selatan terjadi pada pertengahan Januari 2021 lalu, Presiden Joko Widodo mengungkap bahwa banjir ini karena hujan lebat selama berhari-hari. Fakta kerusakan lingkungan yang terjadi dikesampingkan dalam pidato itu.
Sampai-sampai Bareskrim Mabes Polri turun ke lapangan untuk memastikan bahwa banjir itu karena curah hujan. Menyelidiki musabab bencana pun bukan bagian dari ahli lingkungan, tetapi kini menjadi tugas polisi.
Jadi kalau sampai polisi menemukan bukti bahwa bencana datang karena hujan, siapapun yang bilang kerusakan lingkungan sebagai biang bencana maka akan berurusan dengan mereka.
Laku pejabat seperti ini tentu menjadi ironi ketika semua pihak seringkali menggaungkan demokrasi, namun yang terjadi justru tindak semena-mena semacam ini.