Pilkades Serentak : Kisah Menunggu “Pulung” dan Money Politics yang Mengerikan

JELANG gelaran Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak di Kabupaten Pati yang akan diselenggarakan awal bulan depan, rasanya kurang afdol jika kita tak membahas kontestasi yang cukup dianggap sakral oleh kalangan masyarakat di Indonesia tersebut.

Meskipun di level bawah, namun keberadaan Pilkades tentu tidak kalah menarik jika dibandingkan dengan pemilihan legislatif, kepala daerah bahkan presiden sekalipun.

Eskalasi maupun dinamika yang mengiringi Pilkades hampir bisa dikatakan sama dengan pemilihan presiden. Meskipun memang berskala kecil, tapi setidaknya Pilkades juga mampu menjadi sebuah bahan refleksi dan cerminan kultur berdemokrasi masyarakat Indonesia.

Dalam aspek spiritual di tanah Jawa, Pilkades maupun Pilpres seringkali digambarkan dalam cerita pewayangan. Siapa yang beruntung mendapat wahyu cakraningrat akan menjadi penerus tahta hastina.

Sang kstaria yang bisa merebut sinar wahyu cakraningrat  hanyalah ksatria yang lulus memenuhi syarat : berpegang teguh kejujuran, memberi teladan, mengayomi, mengasihi, amanah, bisa menciptakan harmonisasi unsur pembangunan manusia dan alam.

Dalam berbagai kesempatan, wahyu cakraningrat masih terus dikaitkan dengan petanda seorang layak menduduki sebagai pemimpin tertinggi baik presiden, gubernur, bupati, atau bahkan kepala desa sekalipun.

Pada level pemilihan kepala desa, berbagai sumber literature baik tertulis maupun berupa cerita tutur seringkali menyebutkan sesuatu hal yang dinamai “Pulung”. Pulung sendiri digambarkan sebagai sebuah cahaya di langit di tengah malam yang akan turun di rumah calon kepala desa yang akan terpilih yang bercirikan sama dengan gambaran penerima wahyu cakraningrat.

Setiap calon kepala desa beserta keluarga dan pendukungnya pun melekan dan doa bersama menjelang pemilihan sembari menunggu turunnya Pulung tersebut. Konon, hanya orang yang bersih hati dan pikiran, dengan tingkat spiritualitas tinggi yang mampu melihat pulung dengan mata telanjang telah turun di kediaman sang ksatria pilihan di level desa.

Selain perihal spiritual, pilkades dan pilpres juga memiliki kesamaan dalam metode yang dipakai, yakni menggunakan metode pemilihan langsung. Dalam hal ini, keduanya pun sama-sama menganggap wajar praktek “Money Politics” dalam proses berjalannya hajatan besar tersebut.

Ya, Money politics hingga kini memang masih menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, justru dianggap aneh oleh masyarakat bila tidak ada amplop. Hal tersebut juga sama-sama terjadi pada level Pilkades maupun Pilpres sekalipun.

Di wilayah Jawa, istilah tim sukses biasanya lebih dikenal sebagai “Sabet” maupun “Cucuk”. Sabet sendiri biasanya diambil dari keluarga maupun kerabat dekat si calon kepala desa dan mewakili masing-masing RT di desa tersebut.

Ungkapan “Tak pilih sing amplope paling kandhel” tentu sangat biasa terdengar dalam kontestasi semacam ini. Atas mindset demikianlah, tak jarang pula kita mendengar kabar calon kepala desa harus menghabiskan tanah dan uang ratusan juta hanya demi sedikit meningkatkan derajat sosialnya sebagai kepala desa.

Pada beberapa titik, kerawanan pemilihan kepala desa justru lebih terasa dibandingkan pemilihan presdien. Praktek jual beli suara saat pemilihan kepala desa bisa dikatakan lebih ironis dibandingkan dengan pemilihan kepala negara.

Perjudian pun telah mencengkeram erat proses pemilihan kepala desa yang dianggap bukan suatu yang abnormal (tidak normal). Seringkali ada bandar judi alias botoh yang ikut bermain dalam konstelasi pemilihan kepala desa, dimana matematika judinya telah membius hati nurani masyarakat dan juga menipu para kandidat.

Sederhananya, botoh akan selalu mengkonsep pemilihan kepala desa berjalan seseru mungkin agar nilai tawar taruhan naik drastis. Sang bandar rela membagikan uang pribadi secara cuma-cuma dari kantong pribadi untuk menggoncang psikologis lawan sekaligus memantik emosi para petaruh.

Ya, dalam beberapa titik pilkades memang lebih gawat dan begitu terasa imbasnya. Saya pun masih ingat betul dimana seorang kakek dan nenek di desa saya terpaksa harus bercerai hanya karena berbeda pilihan kepala desa.

Oleh sebab itu, beberapa ruang kesalahan dalam proses berjalannya pilkades selama ini harus segara kita perbaharui dengan pola dan cara pandang yang lebih baik.

Previous post Pemerintah Setengah Hati Tangani Pendidikan di Tengah Pandemi
Next post Ruas Jalan Jakenan-Jaken Dua Segmen Tetap Butuh Tambahan

Tinggalkan Balasan

Social profiles