MELIHAT situasi dan kondisi masyarakatnya, Mbah Syamsul Hadi merasa berat mengemban amanat umat sebagai seorang guru ngaji. Sebab, beliau sendiri merasa sangat prihatin melihat perkembangan Islam.
Untuk mencari dan mendapatkan jalan pemecahan, beliau memutuskan untuk pergi berziarah kepada kiai dan makam para auliya’, untuk mendapatkan petunjuk dari Allah SWT serta diberi kekuatan agar bisa memikul tugas sampai ke anak cucu. Atas keprihatinan tersebut, akhirnya Allah berkenan jalan keluar melalui isyarat (ilham).
Maksudnya, adalah supaya Mbah Syamsul Hadi hijrah (pindah) dari Dukuh Weduni Arumanis ke desa lain yang sekiranya cocok untuk mengembangkan ilmu-ilmu Allah yang telah beliau peroleh. Untuk memilih tempat baru tersebut, beliau melakukan shalat hajat di beberapa tempat, di antaranya ke Desa Sumberan (selatan Desa Sidomukti).
Di tempat tersebut beliau merasa tidak cocok kemudian pindah ke Dukuh Glentengan Tegalarum juga merasa tidak tidak ada kecocokan, Akhirnya pilihan jatuh untuk pindah ke Kolutan Sumberejo, meskipun tempat yang dipilihnya adalah tanah Kolutan sebelah utara yang terkenal sebagai tempat angker alias ”jalmo moro jalmo mati.”
Sebab, sebelumnya di atas tanah itu sama sekali tidak ada orang yang kuat mendiami, dan alhadulillah beliau menempati daerah tersebut selamat secara turun temurun hingga anak-cucunya. Untuk itu Mbah Syamsul Hadi harus mengurus penyelesaian status tanah tersebut yang waktu itu milik Mbah Dongkol Krondo.
Adapun yang bersangkutan memang seorang mantan kepala desa (Kades), maka Mbah Syamsul Hadi menghibahkan uang sebesar Rp 40 kepada Mbah Krondo sebagai emas kawin atas tanah tersebut. Sebab, Mbah Krondo tidak bermaksud menjual tanahya, tapi jika Mbah Syamsul Hadi menghendaki dipersilakan menempati saja, tidak usah membeli.
Dengan demikian, uang tersebut sebagai ucapan terima kasih Mbah Syamsul Hadi kepada Mbah Dongkol Krondo. Hal tersebut juga sekaligus dilakukan perubahan pemilikan tanah itu dengan disaksikan oleh kepala desa (bersambung).