Apakah Desakan DPR RI Mrupakan Jalan Buntu Keadilan ?

BARANGKALI pernyataan Komisi III DPR RI tentang kasus pelanggaran HAM berat masa lalu baru-baru ini adalah sebuah ungkapan menyakitkan bagi Maria Catarina Sumarsih, ibu dari mahasiswa korban Tragedi Semanggi I Benardinus Realino Norma Irawan ataupun para ibu-ibu lain yang anaknya anaknya telah menjadi korban dalam tragedi tersebut.

Bagaimana tidak? Saat rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM, Selasa (6/4/2021) Komisi III DPR RI justru mendesak penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu secara non-yudisial atau diluar pengadilan.

“Kenapa Komnas HAM tidak juga menyampaikan usulan alternatif penyelesaian, yang non-yudisial? Yang penting ada penyelesaian karena saya tidak bisa membayangkan penyelesaian yudisial terhadap perkara yang terjadi sebelum tahun, katakanlah 1990, seperti kasus ’65, petrus, dan Talangsari,” kata anggota DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani.

Bukan hanya Arsul, hal serupa juga disampaikan oleh Fraksi Gerindra Habiburrohman. Baginya pembuktian pelanggaran HAM di masa lalu ke pengadilan akan sangat berat prosesnya.

Ia berkaca pada pengadilan HAM Abepura yang bagi LSM HAM Elsam sekadar “pengadilan pura-pura” yang membebaskan para terdakwa dan gagal memberikan keadilan bagi korban.

Anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat Santoso juga berpendapat sama, bahkan ia pun membawa-bawa sentimen nasionalisme. Menurutnya Komnas HAM harus memperhatikan budaya Indonesia sehingga pendekatan non-yudisial harus dilaksanakan alih-alih yudisial yang menurutnya merupakan desakan luar negeri.

“Kalau bicara HAM, kita jangan takut dengan negara lain. Komnas HAM harus membela merah putih, membela NKRI. Meskipun Komnas HAM adalah lembaga independen, tapi di sisi lain harus menjaga keutuhan negara ini,” kata Santoso.

Desakan tersebut tentu ditolak keras oleh para orang tua mahasiswa korban Tragedi Semanggi. Seperti Maria Catarina Sumarsih yang menyebut bahwa keadilan baru bisa tercapai apabila para pelaku yang terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM bisa ditangkap dan diberikan sesuai dengan apa yang dilakukannya.

Baginya keadilan tentu bukan sekedar ganti rugi dan maaf memaafkan. Dia pun menganggap argumen nasionalisme sempit ala santoso sebagai sebuah kesesatan pikir.
“Jaminan tidak terjadinya pelanggaran HAM berat itu tidak bisa hanya berupa selembar kertas yang ditandatangani presiden. Harus ada bukti nyata. Bukti nyatanya apa? Ya orang bersalah harus dihukum supaya jera,” kata Sumarsih.

Apa yang diungkapkan Maria Catarina Sumarsih tentu tidak bisa disalahkan. Sebab seperti kita ketahui bahwa jika UUD 1945 tegas disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Mekanisme penyelesaian secara hukum pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menjelaskan bahwa penyelesaian secara non-yudisial seharusnya menjadi tahapan pendekatan untuk mendapatkan keadilan, bukan malah menjadi dalih untuk menutup keadilan itu sendiri.

Tap MPR Nomor V Tahun 2000 telah mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang bertugas mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan melaksanakan rekonsiliasi.

Setelah pengungkapan kebenaran dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi guna membangun moral kolektif baru bagi bangsa.

Previous post Deteksi Kelainan Dini Bantu Turunkan Angka Kematian Ibu dan Janin
Next post E-Koran Samin News Edisi 9 April 2021

Tinggalkan Balasan

Social profiles