PRESIDEN Joko WIdodo baru saja meneken sebuah Peraturan Pemerintah (PP) baru yang mengatur tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik. PP bernomor 56 Tahun 2021 tersebut sontak menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Di laman Twitter saja, frasa “royalti” berhasil menduduki kolom trending topic hari ini, Rabu (7/4/2021). Dari pantauan Samin News, hingga pukul 15.30 saja telah terdapat 26,4 ribu kicuan dengan frasa “royalti”.
Seperti biasa dan sangat lumrah rasanya ketika ada suatu regulasi baru pasti akan diiringi dengan pro-kontra yang mengikutinya. Begitu juga dengan PP yang mengatur royalti hak cipta lagu yang baru saja diteken kali ini.
Peraturan ini kerap juga disebut dengan Performing Rights, di negara lain hal semacam ini sebenarnya sudah cukup populer dan sangat lumrah diberlakukan. Sederhananya, pengguna musik komersial seperti karaoke, hotel, mall, toko, restoran, bioskop, transportasi umum, pameran, perkantoran, pusat rekreasi,tv, radio, konser kalau memutarkan musik maka harus harus bayar royalti performing rights.
Lantas mengapa harus bayar royalti? Karena mereka menggunakan karya cipta yang di dalam terdapat pencipta lagu, produser, dan performers yang membuat karya tersebut. Sehingga mereka harus mendapatkan haknya. Hal itu diatur oleh UU Hak Cipta 28 Tahun 2014.
Jadi intinya, performing rights ini hanya menyasar kegiatan pemutaran atau menggunakan musik dalam konteks komersil. Maka dari itu, tentu kita tidak akan dikenakan kewajiban membayar royalti ketika kita memutar musik tersebut di rumah atau pun di tempat lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan bisnis.
Hal tersebut tercantum dengan jelas pada PP Nomor 56 Tahun 2021 Pasal 3 yang menyebut, “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).”
Meskipun secara prinsip aturan tersebut adalah sebuah langkah yang dapat mendukung ekosistem industri musik, akan tetapi tetap saja peraturan ini pun pada kenyataannya mendapat pro dan kontra dalam perjalanannya.
Beberapa yang menolak menganggap hal ini terlalu memberatkan para pelaku usaha. Selain itu ada pula yang menyebut bahwa dengan adanya regulasi ini justru akan mempersempit ruang pendengar untuk berekspresi.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Julian Jacob melalui akun Twitternya, “Bagusnya adalah akhirnya suara musisi diluar sana didengarkan dan diapreasiasi. Gak bagusnya adalah, memperibet dan justru mempersempit ruang pendengar untuk berekspresi. Karya bukan melulu soal duit.”
Namun disisi lain, kebijakan baru ini tentu disambut baik oleh para pelaku seni di industri tersebut. Sebab bagaimana pun juga kita tentu tak jarang mendengar kabar bahwa ada musisi atau pencipta lagu yang justru hidup miskin meskipun karyanya masih terdengar di mana-mana.
Sebut saja, musisi Didi Kempot yang bisa dikatakan bisa hidup makmur dari karyanya sendiri justru tidak lama sebelum akhirnya harus berpulang. Padahal karya lagu-lagu hitsnya tentu sudah populer sejak awal tahun 90an.
Kan ya lucu kalau pemilik lagunya harus miskin sementara diluar sana banyak orang yang hidup sejahtera dengan menggunakan karya miliknya.
Di sisi lain, pelantun lagu “Rehat” Kunto Aji pun turut menjelaskan bahwa para pelaku usaha berskala kecil tidak perlu khawatir dengan kebijakan baru ini.
“Yang jelas masalah royalti ini terutama menyasar untuk pengusaha menengah keatas. Simpan kekhawatiranmu. Saya pribadi dengan senang hati lagu saya dibawakan gratis oleh pengamen, warkop, warung, gitaran di pos ronda. Atau bahkan kafe kecil dengan omset belum seberapa,” cuitnya melalui akun pribadinya @KuntoAjiW.
Pernyataan Kunto Aji tersebut berdasarkan dengan isi PP tersebut yang terdapat pada Pasal 11 yang mengatakan bahwa setiap orang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik yang merupakan usaha mikro sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundan-undangan mengenai usaha mikro kecil atau menengah akan diberikan keringanan tarif royalti.
Ya secara pribadi, saya tentu sangat setuju dengan PP yang diteken oleh Presiden Jokowi tersebut. Sebab jelas hal ini merupakan bentuk apresiasi yang wajib hukumnya untuk turut mensejahterakan para pelaku di industri tersebut.
Walau begitu saya juga tentu sangat paham dengan berbagai kekhawatiran beberapa pihak yang merasa keberatan dengan regulasi ini. Karena bagaimanapun juga, selama ini track record pemerintah dalam membuat regulasi memang seringkali tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Jadi dalam hal ini kewajiban kita bukanlah menolak PP tersebut, tetapi mengawal bagaiamana regulasi tersebut akan diterapkan. Jangan sampai regulasi yang sudah benar diawal justru hanya akan menjadi lahan basah bagi mereka yang seringkali mengeruk keuntungan dari penderitaan rakyart kecil.