DI NEGERI ini, jegal-menjegal demi kepentingan individu maupun kelompok tentu begitu biasa terjadi. Terlebih jika praktik semacam ini kita tarik benang merah pada urusan panggung politik di Indonesia.
Yang terbaru, tersiar kabar bahwa Novel Baswedan yang merupakan penyidik senior di lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpaksa harus terancam dipecat akibat tidak lulus dalam asesmen wawasan kebangsaan.
Novel tidak sendiri, ada sejumlah nama orang-orang yang memiliki integritas tinggi yang dikabarkan harus terpaksa terdepak dari lembaga tersebut.
Orang-orang tersebut antara lain adalah Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko, hingga Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK Giri Suprapdiono.
Mengenai kabar tersebut, Novel menilai ada upaya untuk menyingkirkan sosok-sosok berintegritas dari tubuh KPK yang sebenarnya hal semacam ini sebelumnya telah berkali-kali dilakukan dengan berbagai metode.
“Dilihat dari profil orang-orang yang infonya tidak lulus tersebut, secara akademis orang-orang yang memililki kemampuas akademis bagus. Bila dikaitkan dengan nasionalisme, mereka orang-orang yang pernah melaksanakan tugas bela negara dalam banyak kesempatan. Bila dikaitkan dengan radikalisme, mereka dari beberapa suku, etnis, agama, sehingga heterogen,” terang Novel.
Sementara itu, hal senada juga disampaikan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) yang mengatakan bahwa upaya pemecatan tersebut sekaligus menjadi penanda adanya pelemahan lembaga KPK.
Bahkan peneliti ICW Kurnia Ramadhana juga menyebutkan bahwa ada kemungkinan bahwa ketidaklulusan sejumlah tokoh KPK tersebut telah dirancang sejak awal sebagai upaya sistematis untuk membunuh KPK.
Hal ini lantas dikaitkan ICW dengan upaya revisi UU KPK hingga proses seleksi pimpinan KPK. Kurnia berkeyakinan revisi UU KPK berusaha merusak KPK. Kemudian, upaya pengrusakan dilanjutkan dengan kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri dan pemecatan pegawai yang dikenal berintegritas di KPK.
Jika kita tengok tes wawasan kebangsaan (TWK) pada tes seleksi CPNS yang biasa terjadi, saya sendiri seringkali mendengar teman yang katanya gagal pada tes tersebut dengan dalih “tes koyo ngono kui yo untung-untungan (tes seperti itu memang tergantung hoki)” .
Meskipun begitu, saya tentu tidak percaya begitu saja anggapan semacam itu, sebab setau saya beberapa teman yang berkata semacam itu juga memang tidak begitu pintar. Tentu hal ini sangat berbeda dan tidak bisa kita samakan begitu saja dengan apa yang dialami Novel Baswedan dan sejumlah pegawai KPK lainnya.