BELAKANGAN banyak aturan yang meregulasi penannggulangan pandemi Covid-19 yang justru berpotensi menjadi paradoks melanggar hak kebebasan individu. Sebagaimana dengan kondisi pelarangan mudik labaran tahun ini yang dimulai sejak 6 hingga 17 Mei mendatang yang dilakukan atas nama menekan angka penyebaran Covid-19.
Sampai sini, bisakah negara memaksa warganya untuk tetap sehat? Lantas seberapa jauh negera mampu melindungi warganya dari wabah berbahaya seperti sekarang ini?
Mungkin ini memang pertanyaan klasik dan tidak begitu menarik. Meskipun begitu, dalam konteks penanganan pandemi Covid-19 rasanya pertanyaan ini memang masih begitu relevan.
Sebab seperti kita ketahui bahwa sedari awal pemerintah selalu menggembar-gemborkan berbagai aturan untuk menekan pandemi seperti dengan memakai masker, mencuci tangan dan lain sebagainya.
Yang terbaru pemerintah kembali memberlakukan pelarangan mudik lebaran. Meskipun begitu hal ini Nampak begitu paradoks kala pada kenyataannya ada pula sejumlah kelonggaran seperti pembukaan tempat wisata, bioskop, mall dan lain yang tentu tak kalah berpotensi menghasilkan klaster baru penyebaran Covid-19.
Sederhananya, meskipun mudik telah dilarang, apakah kerumunan masyarakat seperti yang terjadi di berbagai pasar tradisional maupun modern menjelang lebaran juga tak kalah berpotensi memicu kenaikan angka penyebaran Covid-19?
Lantas bagaiaman pula dengan sholat ied, maupun tradisi berkunjung dan bersilaturrahmi di hari lebaran Idul Fitri? Tentu tak kalah berpotensi bukan? Lantas pertanyaannya, apakah pemerintah siap berpikir hingga hal-hal detail semacam ini? Atau justru pemerintah hanya ingin memposisikan masyarakat dalam sebuah paradoks saja?