PELEMAHAN ditubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus-menerus menjadi isu yang begitu seksis untuk terus dibahas. Setelah mengalami sejumlah prahara mulai dari Revisi UU KPK, pemilihan Firli Bahuri yang ditolak habis-habisan,yang terbaru kasus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berakhir dengan pemecatan 51 pegawai KPK terus-menurus menjadi perbincangan hangat di Indonesia.
Ya, perjuangan melawan korupsi memang tak akan pernah habisnya. Hal ini terbukti dengan beberapa lembaga antirasuah sebelum KPK yang sudah berkali-kali dibubarkan. Setidaknya sudah 7 kali lembaga antirasuah di negeri ini yang sudah berhasil dibubarkan.
Yang pertama bernama Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) berdiri pada awal 1959 dengan ketua Sultan Hamengku Buwono IX dan anggota Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Sudirgo.
Tugasnya mengawasi, meneliti, dan mengajukan usul kepada presiden berkaitan dengan kegiatan aparatur negara. Lingkup tugas Bapekan mencakup aparat sipil maupun militer dalam badan-badan usaha milik negara, yayasan, perusahaan, dan lembaga negara.
Lembaga ini akhirnya harus tamat tatkala menangani dugaan-dugaan korupsi terkat pembangunan sarana olahraga untuk Asian Games 1962. Belum sempat menyelesaikan penyelidikan atas dugaan korupsi itu, pada 5 Mei 1962 presiden membubarkan Bapekan dengan alasan tidak diperlukan lagi.
Kedua, lembaga ini didirikan pada 1959 dengan nama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh AH Nasution. Salah satu tugas Paran, mendata kekayaan para pejabat negara. Dari laporan kekayaan itu Paran mengetahui banyaknya salah urus dan korupsi. Temuan-temuan itu lalu diteruskan ke kejaksaan, pengadilan, atau kepolisian. Meski tak diketahui berapa jumlah pasti korupsi yang dibongkar Paran, kinerja badan tersebut cukup memuaskan.
Namun, langkah Paran mendapat banyak rintangan. Banyak pejabat membangkang dengan tak melaporkan kekayaan. Tak sedikit dari mereka yang langsung menyerahkan daftar kekayaan kepada presiden. Dalih mereka, mereka bawahan presiden. “Siapa yang bisa melawan Presiden Sukarno?” kata mantan anggota Paran Priyatna Abdurrasyid.
Paran akhirnya mengalami mengalami deadlock saat posisi AH Nasution sebagai pimpinan AD digantikan oleh Ahmad Yani pada 1962. Sejak itu Paran semakin terkucil.
Selanjutnya ada lembaga yang bernama Operasi Budhi yang merupakan respon terhadap radiogram KSAD Nasution tentang perintah kepada Kodam untuk membentuk dan melaksanakan program Paran, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie langsung membentuk Panitia Pelaksana Pendaftaran Kekayaan Para Perwira Tinggi dan Menengah. Lembaga ini bubar pada pada Mei 1964.
Selanjutnya, muncul lembaga antirasuah lain bernama Komando Tertinggi Retooling Aparatur (Kotrar) yang merupakan pengganti dari pembubaran Paran dan Operasi Budhi pada 1962. Presiden menunjuk Soebandrio sebagai ketuanya dan Letjen Ahmad Yani sebagai kepala staf.
Namun, alih-alih bekerja cepat sesuai tujuan pendiriannya, Kotrar justru menjadi kendaraan politik Soebandrio. Perbaikan administrasi pemerintahan dan pemberantasan korupsi hampir tak tersentuh. Kotrar mengalami stagnasi hingga jatuhnya Presiden Sukarno.
Yang selanjutnya, di masa pemerintahan Soeharto ia pernah menyampaikan komitmen pemerintahannya dalam pemberantasan korupsi yang selama itu terbengkalai. Sebagai wujudnya, dia kemudian membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tim ini diketuai Jaksa Agung Sugih Arto. Anggotanya tak hanya orang-orang Kejaksaan, tapi ada yang dari kepolisian, militer, pers, dan lain-lain. Dan lembaga tersebut akhirnya juga berakhir dibubarkan.
Selain membubarkan TPK, Presiden Soeharto merespon protes mahasiswa dengan membentuk lembaga antirasuah lain bernama Komisi Empat pada 31 Januari 1970. Presiden menunjuk Moh. Hatta sebagai penasehat komisi itu dan mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketua.
Temuan paling fenomenal Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo. Dia dicurigai memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik dan pribadi. Namun, hasil temuan itu tak mendapat respon pemerintah. Alih-alih memperdalam penyelidikan, tanpa alasan jelas pemerintah malah membubarkan Komisi Empat pada 16 Juli 1970.
Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Indonesia juga pernah memiliki lembaga antirasuah bernama Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara. KPKPN dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ia pernah membuat lembaga bernama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dengan ketuanya Hakim Agung Andi Andojo. Badan ini dibentuk dengan Keppres No. 19/2000.
Tim yang bertugas untuk berburu para koruptor yang diduga bersembunyi di luar Indonesia tersebut akhirnya dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan dasar pembentukannya berbenturan dengan UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan berbagai fakta mengenai berbagai lembaga antirasuah yang pernah dibubarkan sebelumnya, tentu dari sini kita dapat memahami bahwa perang malawan korupsi memang tak pernah usai. Bagai mata rantai yang tak pernah putus, korupsi dan lembaga antirasuah memang sama-sama takkan pernah usai. Berkali-kali dilemahkan dan dibubarkan, hal tersebut takkan mampu menyurutkan tekat bangsa ini untuk terus menerus bangkit melawan ketidakadilan.