DISTRIBUSI obat memang sudah lama menjadi buah bibir kala pandemi datang menyerang. Alih-alih membaik, di saat gelombang kedua (second wave) pandemi Covid-19 kini kemelut distribusi obat justru kian memuncak.
Di berbagai lini masa media sosial maupun di berbagai headline pemberitaan, kita semua tentu akhir-akhir ini tak jarang menemukan bagaimana oksigen dan obat-obatan mengalami kelangkaan di berbagai daerah.
Kelangkaan obat-obatan ini justru kini hadir di tengah kondisi pandemi sedang parah-parahnya. Karena langkanya pasokan, harga pun tentu akan seenaknya naik, dan akhirnya akan berimbas pada semakin minimnya daya beli masyarakat terhadap obat tersebut.
Rakyat yang tidak miskin yang mampu membeli obat harga mahal bahkan juga tidak bisa memperoleh obat akibat di pasar tidak ada produk obat untuk dijual mau pun dibeli.
Bahkan Imbauan Menkes agar pedagang obat tidak boleh menaikkan harga juga hanya terkesan sebagai angin lewat belaka. Tak ada pengaruhnya, nyatanya harga obat-obatan justru kian menjulang naik ke angkasa.
Selain obat-obatan, kelangkaan oksigen juga kian melangka ditengah ia sedang dibutuh-butuhkannya. Akibat kelangkaan tersebut, harga oksigen pun ikut naik signifikan seperti halnya obat-obatan.
Rakyat yang tidak miskin yang mampu membeli oksigen harga mahal bahkan juga tidak bisa memperoleh oksigen akibat di pasar tidak ada produk oksigen untuk dijual mau pun dibeli.
Dalam konteks ini, semoga tidak ada ilmuwan atau ahli ekonomi mati-matian membela produsen dan distributor obat dan oksigen tega berteori bahwa kelangkaan obat dan oksigen wajar bahkan kodrati penawaran versus kebutuhan berdasar hukum pasar Adam Smith.
Selain itu, jangan lah kita pura-pura lupa dengan lupa kenyataan Adam Smith di dalam The Theory of Moral Sentiments telah menegaskan bahwa masih ada kearifan lebih mulia di atas hukum pasar yaitu moral.