MANTAN Menteri Sosial Juliari Batubara nampaknya boleh sedikit berbesar hati lantaran rengekannya beberapa waktu lalu sedikit mendapatkan simpati dari majelis hakim.
Juliari yang tersandung kasus korupsi bansos Covid-19 tersebut mendapatkan keringanan dengan dasar telah mendapatkan hinaan bertubi-tubi dari publik.
Menurut majelis hakim, Juliari telah cukup merasakan penderitaan akibat kecaman dan hinaan yang bertubi-tubi dari masyarakat.
Berbagai pihak pun menyoroti hasil putusan tersebut. Indonesian Corruption Watch (ICW) menganggap bahwa alasan tersebut terlalu mengada-ada.
Menurutnya, cercaan yang dialami oleh Juliari merupakan hal yang sangat wajar. Terlebih korupsi tersebut dalam masa krisis seperti sekarang ini.
Pertanyaannya, sebagai masyarakat biasa, salahkah kita jika menghujat pelaku tindak pidana korupsi?
Secara hukum, melakukan penghinaan bukanlah hal yang bisa dibenarkan. Sebab penghinaan atau pun cacian pada dasarnya memang melanggar batas-batas hak asasi manusia.
Meski begitu, masyarakat zaman sekarang tentu sudah cukup cerdas dalam bersikap dengan apa yang mereka lihat dan mereka dengar.
Hinaan dan cacian yang dilakukan oleh masyarakat tersebut tentu bersifat organik. Dalam hal ini penghinaan dan cacian tersebut seolah menjadi manifest dari perlawanan masing-masing individu terhadap kejahatan.
Ya sederhananya, setiap orang pasti meliki sisi alamiah ingin menjadi “pahlawan” atau sekedar menjadi penegak kebenaran.
Saya tahu, alasan majelis hakim meringankan Juliari tentu mempertimbangkan sisi-sisi humanis. Meski demikian, apakah majelis hakim sudah lupa betapa tidak humanisnya Juliari saat mengkorupsi dana bansos yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat yang terdampak Covid-19?
Lebih tidak manusiawi mana mencaci atau memakan uang rakyat yang sedang merintih kesakitan?