JAUH sebelum muncul pendekatan kekuasaan untuk menutup beberapa tempat pelacuran di Margorejo, sebenarnya pernah muncul upaya dari sekelompok pihak yang mencoba untuk peduli. Melalui upaya pendekatan kemanusian, para pelacur yang jumlahnya ratusan tersebut disentuh kesadarannya secara manusiawi, untuk sewaktu-waktu meninggalkan lokasi yang selama ini menjadi tempat mereka berkubang dalam kemaksiatan.
Alasan upaya itu ditempuh kelompok peduli ini, tentu memandang mereka sebagai sesama manusia tapi berbeda status dan kondisi sosialnya dengan mentalitas yang benar-benar sudah sangat terpuruk. Karena itu ibarat menunggu tetesnya embun di siang hari, maka sampai kapan pun upaya membuat mereka sadar dan kembali dalam kehidupan sewajarnya benar-benar sangat sulit diharapkan.
Padahal, dalam melakukan upaya tersebut penggemblengan mental melalui pengajian di lingkungan mereka juga secara periodik dijadwalkan, meskipun untuk hadir dalam kepentingan pengajian ini masih harus ”diopyaki”. Akhirnya, lama-lama kondisi seperti itu pun membosankan sehingga satu-satu yang hadir pun tinggal bisa dihitung dengan jari, dan paling akhir sendiri kegiatan pengajian ini terpaksa harus berhenti.
Kondisi itu baru salah satu sisi, karena bentuk-bentuk pemberian kegiatan kepada mereka agar tidak selalu fokus dalam mengejar impiannya untuk medapatkan banyak uang lendir. Karena itu pemberian latihan ketrampilan, seperti menjahit dan juga membuat kue juga dilakukan, tapi pemikiran mereka sudah terpatri anggapan bahwa upaya mendapatkan penghasilan melalui ketrampilan itu dianggap terlalu njelimet.
Sebab, kalau urusan menjahit pakaian juga sudah dianggap tidak zamannya lagi karena punya uang banyak tinggal masuk toko, sudah bisa membeli dengan model sesuai selera. Demikian, kalau hanya urusan kue-kue, di toko juga digelar aneka jenis, sehingga mereka pun akhirnya tidak tertarik mengikuti pelatihan ketrampilan ini.
Belum lagi, bagi mereka yang berminat menjadi penari juga didatangkan pelatih untuk memberikan pelajaran menari seperti anak sekolah, tapi lagi-lagi kebosanan selalu menghinggapi mereka. Dengan kata lain, mereka ini tidak mau mengerti bahwa semua butuh proses, bukan asal ”jreng” mesti membuahkan hasil, semua inginnya serba cepat dan gampang.
Kosekuensinya mereka pun rela digampangkan, termasuk dalam upaya mendapatkan uang sehingga hal-hal seperti itu sudah menjadi kebiasaan dan pilihan mereka. Akan tetapi, kadang-kadang juga muncul pembenaran dari pihak yang merasa peduli pada sisi gelap kehidupan mereka hanya kendalanya, simpatisan ini tidak bisa berbuat apa-apa.
Alasan dari pembenaran tersebut biasanya juga dengan ringan dilontarkan berupa pertanyaan, ”Siapa lagi yang mau menjalani kehidupan seperti mereka?” Jika sudah sampai pada pertanyaan ini, tentu tidak ada yang memberikan jawaban, sehingga hal tersebut selamanya menjadi dilematis dalam tatanan sosial yang memang mudah diteorikan, tapi sulit untuk mewujudkannya.
Terlepas dari hal yang disebut terakhir, maka kelompok peduli juga mengajak para pelacur itu agar merasa ikut memiliki Republik ini. Caranya, perlahan-lahan ditanamankan kesadaran pada setiap peringatan HUT Kemerdekaan RI mereka diajak melaksanakan upacara menghormati Sang Saka, merah putih di halaman Pasar Hewan Margorejo, dan juga beberapa lomba seperti yang dilaksanakan kebanyakan masyarakat lainnya.
Hanya saja, sudah dua kali peringatan HUT Kemerdekaan upacara dan lomba-lomba tersebut tidak dilaksanakan, karena dalam masa pandemi yang sampai saat ini belum juga berakhir. Sampai akhirnya datang pendekatan melalui kekuasaan oleh pihak yang berkompeten, bahwa semua tempat pelacuran di Margorejo harus ditutup.
Sekali lagi, ditutup. Para lelaki hidung belang maupun yang merasa menjadi konsumen dan pelanggan tetap harus mengerti serta memahami.
Dengan demikian, dari penutupan lokasi pelacuran melalui pendekatan kekuasaan ini tentu sudah diperhitungkan oleh pihak yang berkompeten. Sehingga hari-hari ini dan mendatang kita tinggal menunggu dan melihat, sejauh mana ketahanan terhadap dampak yang ditimbulkan, utamanya adalah menghadapi munculnya praktik-praktik pelacuran liar dan terselubung di Pati.